JAKARTA | PAPUA TIMES- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan menambah kepemilikan saham Indonesia di PT Freeport Indonesia sebesar 10%. Dengan penambahan tersebut, Indonesia akan menjadi pemegang mayoritas saham di Freeport Indonesia dengan 61% kepemilikan.
Dengan demikian, Freeport akan bukan lagi kepemilikan dari Amerika Serikat (AS). “Artinya, Freeport bukan milik Amerika Serikat lagi, tetapi sudah milik Indonesia, milik negara kita,” katanya kepada wartawan setelah menghadiri Kongres Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) di Mercure, Ancol, Jakarta Utara pada Kamis (28/3/2024) dikutip Bisnis Indonesia.
Dia meyakini bahwa dengan posisi mayoritas kepemilikan di perusahaan tambang asal AS tersebut, pendapatan negara akan bertambah.
“Ssebentar lagi akan kita tambah menjadi 61%, dan pendapatan Freeport sekarang ini 70% masuk ke negara. Begitu kita naik 61% nantinya 80% akan masuk ke negara,” pungkas Jokowi.
Kepala Negara menjelaskan, penambahan kepemilikan saham Indonesia atas PT Freeport dilakukan secara bertahap. Semula, Indonesia hanya menguasai 9 persen saham PT Freeport. Kemudian dengan sejumlah usaha dan negosiasi kepemilikan saham 51 persen berhasil didapatkan pemerintah.
Sehingga menurut Presiden Jokowi PT Freeport bukan milik Amerika Serikat, melainkan dimiliki Indonesia.
Presiden Joko juga mengatakan usulan PT Freeport Indonesia untuk mengajukan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah 2041.
Pemerintah masih melakukan negosiasi dengan Freeport terkait hal ini, terutama ketika Pemerintah Indonesia juga mengajukan kepemilikan saham naik menjadi 61% dari saat ini 51%.
Selain itu, pemerintah juga tengah menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah (PP).”Masih dalam proses negosiasi dan juga persiapan regulasinya. Tapi saya yakin angka itu (61%) bisa kita dapatkan,” ungkap Presiden Jokowi.
Kamis siang (28/03/2024), Presiden Jokowi menerima petinggi Freeport, termasuk Freeport-McMoran (FCX). hadir dalam pertemuan tersebut Chairman & CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson, CFO Freeport-McMoran Kathleen L. Quirk, dan Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas.
Pertemuan itu berlangsung kurang lebih setengah jam. Terlihat Tony, Richard Adkerson dan Kathleen keluar gerbang istana pada pukul 11.24 WIB.
“Jadi kami tadi saya bersama Richard Adkerson dan Kathleen L. Quirk bertemu pak presiden untuk menyampaikan perkembangan terkini dari situasi pertambangan di upstream dan juga terutama progres smelter,” kata Tony usai pertemuan.
Ia mengabarkan progres smelter saat ini sudah mencapai 92%, dengan harapan bisa rampung dan segera beroperasi pada Mei 2024 ini. “Dengan harapan bisa selesai Mei dan segera beroperasi pada bulan Juni tahun ini dan nanti akan berproduksi penuh di tahun 2024 ini,” katanya.
Meski begitu ia mengaku tidak ada pembicaraan mengenai perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), hingga permintaan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga yang berakhir pada Mei 2024.
“Kita bicara tadi yang saya sampaikan itu dibicarakan mengenai smelter dan upstream-nya gimana,” kata Tony saat ditanya apa ada pembicaraan perpanjangan IUPK “(Perpanjangan izin ekspor tembaga) itu kan pembicaraan lewat level menteri, masa sama presiden,” jelas Tony.
Tony Wenas menyebut bahwa negara bisa kehilangan pendapatan hingga US$2 miliar atau sekitar Rp31,7 triliun (asumsi kurs Rp15.872 per US$) bila izin ekspor konsentrat tembaga Freeport tidak diperpanjang hingga Desember 2024.
Berdasarkan laporan Freeport-McMoRan Inc. (FCX) kuartal III/2023, izin ekspor konsentrat tembaga PTFI sebesar 1,7 juta metrik ton yang diperoleh pada 24 Juli 2023, hanya berlaku hingga Mei 2024.
Freeport menjadi salah satu perusahaan yang mendapat relaksasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan per 10 Juni 2023. Belakangan Freeport melobi pemerintah untuk memperpanjang relaksasi ekspor konsentrat tembaga tersebut sampai Desember 2024. Hal ini lantaran smelter baru Freeport di Gresik, Jawa Timur diklaim membutuhkan waktu untuk dapat berproduksi dengan kapasitas penuh setelah commisioning pada Mei 2024.
“Ya, kan kalau kita enggak bisa ekspor [karena tidak perpanjang izin], maka penerimaan negara juga akan berkurang kira-kira US$2 miliar dengan harga sekarang. Itu sekitar Rp30 triliun berkurangnya, dalam kurun waktu Juni sampai Desember,” ujar Tony di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (28/3/2024).
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah Indonesia bisa menjadi pemilik saham terbesar perusahaan tambang PT Freeport Indonesia yakni sebesar 61 persen.
Menurut Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, mengatakan peningkatan perolehan saham tersebut bisa diwujudkan apabila Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara diselesaikan.
Menurutnya dalam revisi itu, pemerintah melakukan penyesuaian untuk mewujudkan kepastian investasi yang berkelanjutan.
“Kita sudah rapat terbatas, dan kita akan percepat proses keputusannya. Jadi PP 96 ini kita melakukan penyesuaian-penyesuaian, percepatan-percepatan dalam rangka memberikan kepastian investasi yang berkelanjutan,” ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan penyesuaian yang dilakukan pemerintah dalam PP 96 untuk mengakuisisi Freeport yakni mengubah syarat perpanjangan kontrak perusahaan guna memaksimalkan keuntungan yang didapat bagi Indonesia.
“Terkait dengan syarat perpanjangan yang di dalamnya adalah paling cepat 5 tahun kita ubah. Karena ini terintegrasi dengan smelter. Kedua karena itu 5 tahun, kita punya produksi Freeport tahun 2035 itu sudah mulai menurun, sementara kita eksplorasi underground minimal 10 tahun,” ujar Bahlil ditemui usai acara.
Ia menyampaikan nantinya aturan tersebut tidak hanya diberlakukan spesifik kepada suatu perusahaan saja, namun pihaknya akan menerapkan asas perlakuan sama rata (equal treatment) guna mewujudkan ekosistem investasi yang berkelanjutan di tanah air.
Adapun sebelumnya pihaknya optimistis dapat memenuhi target realisasi investasi tahun 2024 yang mencapai Rp1.650 triliun.
Editor | PAPUA GROUP
Komentar