PJAYAPURA | PAPUA TIMES- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua meminta Presiden Indonesia, Joko Widodo segera menyelesaikan masalah 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia.
“Dalam rangka menuntut pemenuhan Hak 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia menegaskan kepada Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan Persoalan 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia dengan Manajemen PT.Freeport Indonesia sebagai bentuk implementasi tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang diatur pada Pasal 4, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003,”jelas Emanuel Gobay, SH.,MH.,Direktur LBH Papua dalam press releasenya, Rabu, 01 Mei 2024 di Jayapura.
LBH juga meminta Gubernur Papua dan Gubernur Papua Tengah segera berkordinasi dengan Presiden Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut. LBH juga meminta Komnas HAM Republik Indonesia segera memediasikan persoalan antara 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia dengan Manajemen PT.Freeport Indonesia sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (4), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999;
“Manajemen PT.Freeport Indonesia segera aktifkan BPJS dan Upah 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia sesuai perintah Pasal 145, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,”kata Emanuel mengingatkan.
Direktur LBH menguraikan bahwa Perjuangan 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia telah memasuki 7 Tahun terhitung sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai dengan 1 Mei 2024, namun Manajemen PT. Freeport Indonesia maupun Pemerintah Republik Indonesia terus mengabaikannya. Padahal 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia melakukan mogok kerja akibat gagalnya perundingan terkait Impelementasi kebijakan fourlok atau merumahkan yang diberlakukan oleh Manajemen PT.Freeport Indonesia secara sepihak disaat berusaha menentang ambisi Pemerintah Republik Indonesia untuk mendapatkan saham atas PT. Freeport Indonesia dan sebagian wilayah areal kerja PT. Freeport Indonesia hingga Pendirian Smelter di Indonesia.
“Anehnya adalah setelah Pemerintah Republik Indonesia mendapatkan saham atas PT. Freeport Indonesia dan sebagian wilayah areal kerja PT. Freeport Indonesia pada tahun 2018 hingga Pendirian Smelter di Gersik Jawa Timur, namun sampai saat ini Pemerintah masih mengabaikan nasib 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia telah memasuki 7 (tujuh) Tahun ini,”ujar Emanuel Gobay.
Menurutnya, akibat dari pengabaiannya telah terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang menimpa Para Buruh PT. Freeport Indonesia yang melakukan perjuangan Mogok Kerja yang sah sesuai dengan Pasal 137 dan Pasal 140, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seperti adaya fakta 200an Buruh Mogok Kerja meninggal dunia karena sakit namun tidak diobati akibat BPJS Ketenagakerjaan dicabut secara sepihak oleh Manajemen PT. Freeport Indonesia.
Selain itu, hak atas pendidikan bagi anak Buruh Mogok Kerja juga terancam putus akibat dicabutkannya Upah dari Para Buruh Mogok Kerja secara sepihak oleh Manajemen PT. Freeport Indonesia. Diatas itu, kesejahteraan Para Buruh Mogok Kerja juga terancam sehingga banyak hal buruh yang menimpa keluarga Para Buruh Mogok Kerja yang sah.
Sikap Manajemen PT. Freeport Indonesia mencabut Upah dan BPJS Para Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan, “Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah” sebagaimana diatur pada Pasal 145, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun hanya disaksikan begitu saja oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun di Propinsi Papua maupun Propinsi Papua Tengah dan Kabupaten Mimika.
Editor | PAPUA GROUP
Komentar