Perspektif Inter-Mestik Dalam Kajian Resolusi Konflik
MENARIK membaca pernyataan dari anggota Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution pada 3 Agustus 2017 lalu.
Nasution menegaskan, “Semampang sebelum Maghrib, di sisa-sisa waktu yang relatif tidak banyak, Presiden Jokowi sebaiknya bergegaslah memimpin penyelesaian masalah-masalah Papua. Sekali lagi bersegeralah sebelum terlambat. Masalah-masalah Papua sudah mendekati Maghrib (www.republika.co.id, 3 Agustus 2017).
Apa makna dari pernyataan ini? Sebuah pernyataan yang menimbulkan pertanyaan, apakah benar sebegitu kompleksnya masalah Papua sehingga digolongkan mendekati magrib yang menandakan masuknya suasana kegelapan malam.
Setelah membaca pernyataan Maneger Nasution itu, mungkin memunculkan 3 sikap atas pernyataan Maneger Nasution ini. Pertama, ternyata tidak benar masalah Papua mendekati Magrib. Ada sebuah rasa optimisme dalam mencari peta jalan dalam menata pelbagai permasalahan yang dihadapi Tanah Papua saat ini.
Kedua, ternyata benar bahwa masalah Papua sangat serius untuk dibenahi secara bertahap dan parsial. Ketiga, ternyata masalah Papua ini bukannya mendekati Magrib, namun lebih dari asumsi Nasution, ternyata masalah Papua telah bertumpuk-tumpuk memasuki Isya yang lebih gelap dari Magrib. Karena itu, membutuhkan pilihan pendekatan yang komprehensif, sekaligus fundamental.
Kini, wajah Papua dengan berbagai narasi besarnya sangat tergantung dengan sikap Negara (Pemerintah dan jajarannya, MPR, DPR, DPD) dalam menentukan arah jalan Tanah Papua. Istilah Magrib dari Anggota Komnas HAM adalah perlu dimaknai sebagai konteks waktu dan derajat kedalaman sebuah masalah kebangsaan, yakni Tanah Papua. Sekaligus, pernyataan Nasution ini sebagai cambuk bagi Negara dalam mencari format yang tepat untuk Papua.
Membaca Setting Internasional yang Dinamis
Berbicara Tanah Papua, tidaklah terlepas dari perhatian dunia internasional. Karena sejak 1945, bahkan jauh di abad ke-15, Tanah Papua telah menjadi tanah perebutan. Kini, fenomena Papua tetap menjadi perhatian dunia internasional.
Fenomena pertama, sejak “Papuan Spring” pasca Orde Baru, sebagaimana istilah Richard Chauvel, Indonesianist dari Australia, isu “Internasionalisasi Papua” semakin meningkat. Dinamika internasionalisasi isu Papua diperkirakan akan semakin meningkat di tahun 2017 dan tahun-tahun ke depan. Hal itu ditandai dengan hadirnya International Parliament for West Papua (IPWP), International Lawyer for West Papua (ILWP), dan berbagai solidaritas dan jaringan West Papua di berbagai negara di belahan dunia dengan aktor yang semakin beragam. International advocacy untuk Papua juga semakin beragam dan meluas tanpa mengenal batas administrasi negara.
Fenomena kedua, yakni konsolidasi sayap diplomasi West Papua juga semakin tertata dengan hadirnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pertemuan tingkat tinggi Melanesian Spearhead Group (MSG) di Noumea, Kaledonia Baru, 20 – 21 Juni 2013, menjadi embrio hadirnya sebuah payung organisasi yang inklusif dan kedatangan para Menteri Luar Negeri dari MSG ke Indonesia (termasuk ke Jayapura). Selanjutnya, dalam Special MSG Leader’s Summit di Port Moresby, pada 26 Juni 2014 menghasilkan Komunike. Dalam komunike itu untuk mengundang semua kelompok West Papua untuk membentuk sebuah payung organisasi yang bersatu dan inklusif untuk berkonsultasi dengan Indonesia. Alhasil, lahir ULMWP pada akhir 2014 di Vanuatu. Selanjutnya, masuknya ULMWP sebagai observer di MSG menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia di dalam mengelola diplomasi publik di Pasifik.
Sedangkan fenomena ketiga, internasionalisasi isu Papua juga semakin mendapat ruang di forum PBB dan fora internasional lainnya. Sejumlah Kepala Negara dari Pasifik mengangkat isu Papua baik di forum Majelis Umum PBB, di forum Dewan HAM, dan di forum Komisi Dekolonisasi. Terakhir muncul Pacific Coalition for West Papua yang terdiri dari 7 negara-negara Pasifik. Di akhir Juli 2017 lalu, pertemuan regional ke-14 Majelis Gabungan Parlemen ACP – EU di Port Vila, Vanuatu juga menyoroti soal pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Terakhir, Papua yang terletak di Pasifik, sebenarnya saat ini berada dalam ‘a new cold war’ atau perang dingin baru antara China dan Amerika Serikat. Kedua negara sangat gencar untuk memantapkan “the influence zone” di negara-negara di Pasifik, termasuk di Pasifik Selatan. Membaca perpanjangan PT. Freeport Indonesia pada 29 Agustus 2017, sebenarnya diletakkan pula sebagai upaya Amerika Serikat untuk mempertahankan dominasi kehadiran Indonesia di Pasifik, khususnya di Tanah Papua.
Masih terdapat sejumlah peristiwa di level internasional yang bisa diurai satu persatu untuk menjelaskan bahwa fenomena internasionalisasi isu Papua meningkat dan meluas dalam geo-politics internasional dan kawasan Pasifik.
Mengurai Masalah Domestik
Tanah Papua menjadi agenda Negara dari masa ke masa. Setiap era pemerintahan memiliki gaya kepemimpinan dan pilihan kebijakan (policy choices) yang berbeda sesuai konteks dan setting persoalan. Namun, menarik pandangan dari mantan Gubernur Barnabas Suebu yang pernah mengatakan bahwa persoalan utama yang kita hadapi adalah soal perbedaan persepsi di antara para aktor dalam melihat apa yang dihadapi di – dan – untuk Tanah Papua. Misalnya, Gubernur Suebu mecontohkan, perbedaan persepsi antara policy makers di Jakarta dan rakyat Papua dalam memaknai apa substansi dan filosofi mendasar dari Otonomi Khusus.
Kita menyadari telah banyak pihak dalam memetakan akar persoalan dan symptom (gejala tampak) di Tanah Papua.
Bagi Negara, pemetaan isu dan agenda setting telah tampak dalam perencanaan nasional, sebagaimana di dalam RPJMN Tahun 2015 – 2019. Dari persoalan yang bersifat teknokratis di Papua, akhirnya ada pendekatan sektoral untuk Tanah Papua dan pendekatan kewilayahan untuk Papua.
Bagi elite-elite Papua di Pemerintahan Papua (eksekutif dan legislatif) lebih memaknai persoalan dengan isu kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterisolasian, kematian). Gubernur Lukas Enembe mengurai apa penyebab itu karena ternyata karena titik mulainya (start) pembangunan yang terlambat sejak 1969 ketimbang provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Lembaga think tank Pemerintah, LIPI, telah memetakan 4 persoalan, yakni (1) sejarah integrasi, status politik Papua, dan identitas politik; (2) kekerasan politik dan pelanggaran HAM; (3) kegagalan pembangunan; dan (4) inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua. Intinya, LIPI menawarkan ide Dialog (LIPI, 2009).
Sebaliknya, tokoh-tokoh Papua dan komunitas melihat Tanah Papua dengan perspektif yang berbeda atas akar persolan dan solusi yang berbeda untuk Papua.
Gembala Dr. Socrates Yoman, Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis se-Tanah Papua, memiliki persepsi yang kritis dalam menyuarakan suara-suara rakyat Papua. Dalam bukunya, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal (2012), Gembala Dr. Socrates Yoman menawarkan 3 solusi. Pertama, solusi dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Kedua, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kembali tuntutan rakyat Papua melalui Tim 100 26 Februari 1999, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres Nasional III Papua, 26 Mei-Juni 2000. Ketiga, pengalaman dan realitas ini menghasilkan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia dan telah kehilangan harapan masa depan dalam Indonesia.
Dalam konteks internasional, persoalan Papua dilihat dengan perspektif yang kritis. Sejumlah komunitas internasional melihat adanya “slow motion genocide” yang terjadi di Tanah Papua, pelanggaran HAM yang terus berlanjut, sejarah integrasi Papua 1969 yang cacat karena tidak mengusung “One Man One Vote” maupun kebebasan berekspresi yang dibatasi dan pelarangan jurnalis ke Tanah Papua. Pandangan seperti itu tampak dari IPWP, AWPA, ULMWP, Pacific Coalition for West Papua, Papua Studies di University of Sydney, dan berbagai networks yang tersebar di berbagai negara.
Isu dialog untuk Papua juga menjadi isu tersendiri di komunitas internasional. The State Secretary AS Hillary Clinton pernah mengatakan, “Dialogue would be help address Papuan concern, help resolve conflict peacefully and implementation governance and development…the need for inclusive consultation and implementation of the special autonomy law for Papua” (4 September 2012). Bahkan, negara tetangga terdekat, PNG mulai mengambil sikap dengan perspektif yang kritis. Walaupun PM Peter O’Neill tetap mendukung Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, namun PM O’Neill mengungkapkan, “it is time to raise West Papua” (5 Februari 2015).
Adakah “the New Deal for Papua?”
Dengan konteks geopolitics internasional seperti itu, dan ditambah dengan situasi domestik Indonesia, termasuk situasi pembangunan di Tanah Papua, apa yang harus dilakukan oleh Negara?
Dalam pandangan pribadi, sudah saatnya Negara harus memiliki Narasi Tunggal perihal Agenda Tanah Papua. Dengan menyimak dinamika lingkungan internasional dan domestik (perspektif inter-mestik), terbangun 3 Skenario untuk Tanah Papua.
Skenario Pertama, yakni Skenario Realistik. Artinya, narasi tunggal Negara yang memaknai Tanah Papua secara normal tanpa terobosan yang berarti. Arah besar Tanah Papua ke depan diletakkan hanya berbasis dokumen Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019 dengan pendekatan sektoral (sectoral-based policies) dan pendekatan kewilayahan (regional-based policies). Hal ini sesuai pula dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai komitmen global.
Dari sisi internasional dalam Skenario Realistik, Negara melanjutkan sejumlah strategic/comprehensive partnership dengan negara-negara besar, termasuk di Pasific Selatan. Namun, Negara tidak memiliki narasi public diplomacy untuk Papua yang progresif maupun Negara tidak memilih opsi dialog dengan representasi pergerakan West Papua via ULMWP. Konsekuensinya, narasi diplomasi hanya berbicara ‘soft politics’ seperti komitmen Negara atas pembangunan Tanah Papua, tanpa menyentuh isu ‘high politics’ seperti status integrasi, HAM dan isu slow motion genocide.
Dalam skenario realistik ini, situasi Tanah Papua akan berjalan seperti saat ini dengan segala kompleksitasnya.
Skenario Kedua, yakni Skenario Moderat. Artinya, Negara menempuh pilihan kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough) di luar kebiasaan dengan tetap mengedepankan pendekatan ‘soft politics’ (isu pembangunan)
Dalam Skenario Moderat, diletakkan upaya percepatan, upaya rekognisi, upaya afirmatif, dan terobosan regulasi yang selama kaku dalam melihat konteks ke-papua-an dalam pembangunan. Maknanya adalah regulasi sektoral di seluruh Kementerian/Lembaga harus menyentuh kearifan lokal 7 wilayah Adat yang hidup di Tanah Papua.
Demikian pula, makna percepatan pembangunan harus diikuti dengan perubahan kerangka keuangan (financial arrangement) yang berbeda dengan pola umum secara nasional. Misalnya, jika pajak selama ini langsung disetor ke Kas Negara dan kemudian didistribusi secara umum dengan DAU atau Dana Kementrian, maka sudah saatnya skema pendapatan dari pajak diberikan dulu ke Kas Daerah, dan sekian persen (misalnya 40%) diserahkan ke Pusat. Hal ini berlaku hanya suatu jangka waktu tertentu, dan akan kembali normal ketika kebutuhan riil rakyat Tanah Papua dalam pembangunan telah terpenuhi. Termasuk soal skema pembiayaan khusus bagi Papua dalam memperoleh saham di PT. Freeport atau apapun investasi sumber daya alam di Tanah Papua.
Masih dalam Skenario Moderat, pintu Dialog Papua – Jakarta mulai dijajaki. Walaupun narasi Dialog masih menimbulkan persepsi yang berbeda di tubuh Negara. Namun sebenarnya, dalam RPJMN 2015-2019 telah dinyatakan “Dialog Pembangunan Ekonomi Papua – Jakarta”, sebagaimana diurai dalam buku III RPJMN. Dialog Sektoral untuk Papua diletakkan dalam bangunan Skenario Moderat yang tetap hanya membahas “soft politics”.
Sedangkan Skenario Ketiga, yakni Skenario Progresif. Dalam skenario ini, muncul pilihan kebijakan yang luar biasa (thinking and acting outside the box) yang berlaku umum. Sebuah skenario yang memilih solusi komprehensif baik dalam konteks soft politics dan high politics. Alhasil, Negara wajib memiliki tawaran bargaining yang bermakna bagi rakyat Tanah Papua.
Tawaran apa? Bisa jadi tawaran maksimal adalah “Rasa Merdeka dalam NKRI”. Formulasi substansinya sangat tergantung dengan sebuah “The Papua Peace Talk” yang bersifat inklusif yang menjadi sebuah payung hukum baru untuk Tanah Papua.
Indonesia telah belajar dari cara mengelola konflik. Pernah ada resolusi konflik Maluku 1999 dengan “Malino Agreement”. Demikian pula, Henry Dunant Centre (HDC) pernah berperan sebagai mediasi yang menghasilkan sebuah “Jeda Kemanusiaan” (Joint of Understanding for Humanitarian Pause) antara Indonesia – Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di awal Desember 2002. Dan selanjutnya, Presiden ke-10 Finlandia Martti Ahtisaari dan the Crisis Management Initiative (CMI) sebagai lembaga ‘peace broker’ telah sukses memainkan peran mediator antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alhasil, dicapai Helsinki Agreement pada 15 Agustus 2005.
Konteks dan kompleksitas Aceh berbeda dengan Papua. Namun model “The Aceh Way” pernah menjadi model resolusi konflik vertikal di era Presiden SBY.
Komitmen Presiden Joko Widodo begitu besar. “Ini bukan soal jumlah suara di Papua, namun ini soal komitmen dan perhatian pertama untuk Papua. Matahari senantiasa terbit dari timur, terbit dari Papua”, demikian kata yang diungkapkan Joko Widodo ketika mengawali kampanye hari pertama di Jayapura, 5 Juni 2014. Sebuah kalimat yang sangat menyentuh hati rakyat Papua.
Kini saatnya, Negara (eksekutif, legislatif, partai politik, kampus, media, dan komponen bangsa) mensepakati narasi tunggal yang komprehensif untuk Tanah Papua. Saatnya Negara memilih apakah Skenario Realistik, Skenario Moderat, ataukah Skenario Progresif?
Pilihan ini menjadi persiapan agenda setting Negara untuk menuju sebuah “The Papua Peace Talk” yang menghadirkan rangkaian solusi yang fundamental bagi rakyat Papua.
Akhirnya, menarik apa yang diungkapkan Bung Hatta pada pertengahan tahun 1950-an perihal agenda diplomasi Irian Barat. Ia mengingatkan ke seluruh rakyat Indonesia, khususnya para elite partai politik. Kata Bung Hatta, “whatever might be differences of internal politics, the Irian issues was not among them” (Bone,1958).
Dalam keprihatinan atas politik kepartaian yang terbelah di tahun 1950-an, Bung Hatta mengajak apapun warna bendera partai politik, namun harus satu bahasa dalam hal agenda Irian Barat. Ini memberikan makna untuk hari ini, apapun warna benderanya, namun agenda Tanah Papua adalah soal kebangsaan yang serius sebagai agenda kolektif seluruh anak bangsa.
Kini, kita semua menanti orkestra Indonesia Kerja Bersama untuk Tanah Papua, guna menjawab apakah benar masalah Papua mendekati Magrib. [R]
Penulis adalah pemerhati Papua (pandangan pribadi)
Komentar