Masalahnya, Harga Maskawin Tinggi di Papua

JAYAPURA (PTIMES)- Di Papua, kompleksitas masalah gender masing sangat tinggi. Seperti stereotip, marginalisasi, subordinasi, dan beban ganda juga banyak dialami kaum perempuan Papua. Contoh kasusnya adalah tingginya harga mas kawin (mahar) yang ditetapkan dalam pernikahan sehingga membebani dan menghalangi perempuan untuk menikah.

“Dampaknya, semakin tinggi angka seks di luar nikah yang berujung masalah baru, yaitu lahirnya anak tanpa akta kelahiran. Akibatnya banyak wilayah di Papua yang tergolong belum Layak Anak,”ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Prof. DR.Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri saat menghadiri Pertemuan Koordinasi Tokoh Agama dan Tokoh Adat Beserta Pemerintah di Papua dan Papua Barat untuk Memperkuat Komitmen Bersama Terkait Isu Perempuan dan Anak yang berlangsung di Hotel Aston Jayapura.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari itu (20-21 Juni 2019) itu, Menteri Yohana meminta agar Tokoh Agama (Toga) dan Tokoh Adat (Toda) di Papua berperan aktif menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Peranan Toga dan Toda juga perlu ditingkatkan dalam pelayanan untuk memajukan kaum perempuan dan melindungi anak-anak di Papua dari kekerasan. Pasalnya, angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT dan kekerasan anak masih tinggi.
“Perempuan dan anak seharusnya ikut terlibat aktif dlm berbagai sektor pembangunan, namun banyak di antara mereka yg masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikis dan seksual khususnya di tanah Papua,”beber menteri didamping Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, Indra Gunawan dan Deputi Bidang Kesetaraan Gender, Agustina Erni.
Lebih lanjut dikemukakannya, berbagai masalah gender di Papua memerlukan perhatian khusus, maka itu pentingnya sinergi dan kerjasama antara pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama untuk duduk bersama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan terhadap perempuan dan anak di tanah Papua. “Karena menyelamatkan perempuan dan anak sejak dini merupakan indikator kuat dalam mendukung pembangunan bangsa yang berkelanjutan,”tambah menteri yang akrab di panggil Mama Yo itu.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan masyarakat adat dan agama, Weynand Watori dan George Weyasu mengapresiasi upaya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) yang telah melibatkan tokoh adat dan tokoh agama dalam menyusun program dan kebijakan terkait PPPA.
Mereka menegaskan bahwa unsur adat dan agama saling menguatkan satu sama lain dan sangat penting dalam mengatasi berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat Papua. Bagi mereka program sinergi ini merupakan suatu capaian yang baik dan harus terus ditindaklanjuti.

Menteri PPA Berkunjung ke Pasar Mama Papua Sembari Belanja Sayur. Tampak Ibu Menteri Jabat Tangan Dengan Mama Papua Penjual Sayur.

Berdasarkan hasil penelitan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LIPTEK) Papua di 7 (tujuh) wilayah adat Papua pada 2018, ditemukan beberapa fakta yaitu pembangunan dan pemberdayaan gender di provinsi papua belum memberikan kontribusi signifikan terhadap kualitas hidup perempuan; partisipasi perempuan di segala bidang pembangunan masih rendah; tingkat pedapatan ekonomi perempuan masih rendah kecuali di Kabupaten Jayawijaya; dan perhatian pemerintah daerah masih sangat rendah terhadap isu perempuan melalui visi, misi, dan program pemberdayaan perempuan.
“Untuk itu, sejak 2016 hingga 2019, Kemen PPPA bersama pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, dan lembaga masyarakat Papua dan Papua Barat telah melaksanakan Program Pengembangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan,” ujar Menteri Yohana.

Editor: CARLOS MICHAEL

Komentar