JAKARTA- Pada saat ini, Tanah Papua sedang berada dalam goncangan besar karena adanya tsunami kemanusiaan. Jutaan rakyat yang ada di atas tanah Papua di lepas pantai, pesisir, pedalaman, pegunungan menjerit, merintih, sedih dan tangis. Hal itu disampaikan Komisoner Komnas HAM Natalius Pigai dihadapan ribuan rakyat suku Marind Anim, di Merauke, Tanah Animha, Selasa (13/6).
“Saban hari kita hanya bisa mendengar nyanyian dengan syair elegi karena tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat melanesia di Tanah Papua makin lama makin menua dan makin kejam. Ratusan ribu orang menderita karena penangkapan, penganiayaan, menyiksaan dan pembunuhan,” kata Pigai.
Di tanah Marind, milik suku Marind Anim, bumi putera, pemilik sulung atas bumi, air dan segala isinya yang sejatinya menjadi penguasa tanah (Land Lord) namun faktanya dirampas kekayaan alamnya melalui berbagai macam hal.
“Kekayaan alam kita dirampas, mulai dari hutan kita di pegunungan Asiki, dari sota hingga tempat penghuni suku mundup wanduk, muyu mandobo yang paruh-paruh dunia dirampok lewat (ilegal loging), kini menjadi daerah perkebunan milik para taipan hoakiau, gunung-gunung emas, perak, minyak, uranium bahkan plutonium di jarah (ilegal maining), ika-ikan di laut dan segala biota dicuri (ilegal fishing) dari muara sungai Maro hingga lepas pantai pulau Kimam,” beber Pigai.
Tak hanya itu, Pigai mengungkapkan adanya penetrasi kapital disertai penetrasi sipil dan militer mengesampingkan bumi putra tersingkir dan tersungkur karena tercipta segresi antara abdi lokal Papua (blue colar) dan abdi asing dan migran sebagai (white colar) melalui diskriminasi upah dan jabatan dalam politik, pemerintahan dan korporasi.
“Penetrasi sipil juga menyebabkan mereka menguasai sumber daya ekonomi di bandar utama tanah animha kota merauke, sementara suku Marind putra-putri bangsa melanesia tersingkir di pinggiran,” pungkas Pigai.
Lebih lanjut Pigai pun menyoroti soal tingginya kematian ibu dan anak serta perlambatan pertumbuhan penduduk yang menurutnya menjadi indikasi nyata secara perlahan sedang terjadi bahaya genosida (slow motion genocida).”Itulah kejahatan kemanusiaan yang terabaikan menjadi wilayah tragedi terlupa saat ini,” tegas Pigai.
Selain itu, Pigai juga mengatakan Papua sedang dihadapkan pada bahaya liberalisasi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kecepatan teknologi yang bergerak ibarat jugernut yang melintasi jalan bebas hambatan dan tidak bisa dibendung dan tidak dapat ditolak.
Di tengah situasi ini menurut Pigai, pemimpin Papua, Gubernur dan Bupati harus siap untuk memutus rantai kejahatan dan siap-siap menghadapi perubahan. Untuk merubah tanah Tanah Melanesia ini kata Pigai pemimpin harus melibatkan rakyat agar menjadi bagian dari perubahan dan harus menjadi bagian dari mesin perubahan.”Jadilah bagian tidak terpisahkan dari perubahan demi perubahan yang akan terjadi di tanah kita Papua,” harap Pigai.
Pigai pun berharap pemimpin harus mempersiapkan rakyat dengan pengetahuan (Knowledge) cukup, ketrampilan (skills) memadai dan mental dan moralitas yang baik (attitute). Pigai memperingatkan jika para pemimpin Papua tidak mempersiapkan rakyatnya jangan pernah menangis jika pemimpinnya dan saudara-saudara di Papu makin ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri.
“Jika kita tidak berada dalam perubahan jangan pernah sedih kalau ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri. Perubahan tidak pernah mengenal kata “kompromi”, perubahan berada di gerbong besar jadi jangan pernah menagis dan jangan pernah menyesal jika kita ditinggalkan oleh gerbong perubahan,” demikian Pigai. [san]
Komentar