BERITA UTAMAINTERNASIONAL

Kuota Orang Asli Papua di DPRP Diuji di Mahkamah Konstitusi

74
×

Kuota Orang Asli Papua di DPRP Diuji di Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini

JAKARTA | Mahkamah Konstitusi Rabu, 3 Desember 2025, menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 6 ayat (1a) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).

Delapan warga dari masing-masing provinsi dari 6 Papua mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 6 ayat (1a) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut para Pemohon Permohonan Nomor 230/PUU-XXIII/2025, ketentuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang diangkat dari unsur orang asli Papua (OAP) sebanyak dari ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP yang dipilih dari pemilihan umum (pemilu) telah menghilangkan status keistimewaan atau kekhususan bagi enam provinsi yang ada di Papua.

“Angka 1 ¼ (satu seperempat) diubah menjadi ¼ (seperempat), apa dasar hukumnya? Oleh karena itu para Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi segera memutuskan dan menetapkan agar kembali jumlah kursi anggota DPR Papua (DPRP) kembali ke angka 1 ¼ (satu seperempat),” ujar Alexandra Elfrieda Mayor sebagai Pemohon I dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (3/12/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Pasal 6 UU Otsus Papua selengkapnya berbunyi, “DPRP terdiri atas anggota yang a. dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Kemudian, Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua berbunyi: Anggota DPRP yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berjumlah sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a”.

Ketentuan tersebut mengalami perubahan dari aturan sebelumnya yang menyebutkan anggota DPRP yang diangkat dari unsur OAP sebanyak 1 ¼ (satu satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP yang dipilih dari pemilu. Padahal, kata para Pemohon, frasa 1 ¼ itu juga belum pernah dilaksanakan sejak ditetapkan pemerintahan otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada 2001 silam.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa ¼ dalam Pasal 6 ayat (2) UU 2 Tahun 2001 tidak memiliki landasan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Selain itu, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan perbedaan penyebutan istilah DPR Papua (DPRP) dan DPRD Provinsi Papua harus dipertegas sesuai tugas, fungsi, dan tujuannya masing-masing.

Selain Alexandra Elfrieda Mayor, para Pemohon yang tergabung dalam permohonan ini antara lain Pinus Heluka, Timotius Sukai, Maccleurita Bardorita Marianti, Aberaham Bayage, Aser Yaas, Zefanya Agapa, serta Bartholomeos Bokoropces. Namun, Pemohon atas nama Maccleurita Bardorita Marianti tidak menghadiri sidang perdana ini.

Permohonan ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Dalam sesi penasehatannya, Arsul menyoroti petitum permohonan yang diajukan para Pemohon yang dinilai belum sesuai dengan kewenangan dan susunan MK yang diatur Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 serta Peraturan MK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

“Petitum ini secara keseluruhan ini belum sesuai dengan apa yang diatur mulai dari Pasal 24C Undang-Undang Dasar sampai dengan PMK ini, Ibu harus baca betul apa kewenangannya,” kata Arsul.

Editor | TIM | RLS | PAPUA GROUP

Comment

error: COPYRIGHT © PAPUA TIMES 2023 | KARYA JURNALISTIK DILINDUNGI UNDANG-UNDANG