Oleh: Yohanis D. Reda, S.T.,SH.,MH| Direktur PBH PERADI SAI
Kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan arena aerosport di Mimika dalam rangka PON XX Papua kini memasuki babak baru. Kejaksaan Tinggi Papua telah menetapkan beberapa tersangka dan melakukan penahanan. Namun, di balik proses hukum ini, terdapat sejumlah kejanggalan yang patut menjadi perhatian publik dan komunitas hukum Indonesia.
Sebagai praktisi hukum dan Direktur PBH PERADI SAI serta sebagai seorang yang juga pernah belajar Ilmu Teknik Geologi, saya memandang bahwa penetapan tersangka dalam perkara ini patut dipertanyakan, khususnya terkait alat bukti yang digunakan dan kompetensi auditor yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara.
Pertama, auditor yang dipakai harus memiliki sertifikasi atau keahlian khusus di bidang morfologi tanah, geoteknik, maupun analisis struktur tanah—padahal objek pekerjaan ini berkaitan erat dengan karakteristik lahan Mimika yang dikenal memiliki kontur tanah lunak, bergambut, serta mengalami perubahan kondisi alam secara berkala. Kondisi itu berimplikasi langsung pada volume dan kualitas pekerjaan di lapangan.
Jika auditor yang memeriksa tidak memiliki sertifikasi maupun keahlian spesifik dalam hal ini, maka hasil auditnya dapat dipertanyakan validitas dan objektivitasnya. Dalam hukum acara pidana, keterangan ahli maupun auditor yang digunakan sebagai alat bukti harus memenuhi syarat formil dan materil, baik dari aspek kompetensi maupun legalitasnya. Jika tidak, maka hasil audit tersebut menjadi cacat hukum dan dapat berujung pada batal demi hukum dalam proses pembuktian di persidangan.
Kedua, terdapat indikasi bahwa penetapan para tersangka dilakukan dalam tekanan tertentu. Padahal, seharusnya proses hukum dilakukan secara objektif dan independen tanpa didorong oleh target apapun.
Ketiga, pengabaian terhadap fakta adanya perbedaan volume karena faktor alam, tidak sepenuhnya diperhitungkan dalam audit. Hal ini yang mestinya menjadi dasar bagi auditor independen dengan kompetensi di bidangnya, bukan sekadar auditor umum.
Karena itu, kami mendesak agar dilakukan audit ulang oleh auditor profesional yang memiliki sertifikasi di bidang morfologi tanah dan konstruksi kawasan timur Indonesia. Selain itu, proses penyidikan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, tanpa tekanan dan kepentingan tertentu, agar asas due process of law benar-benar dijalankan.
Kami meyakini, jika audit ulang dilakukan oleh auditor bersertifikasi geoteknik di kawasan tanah lunak Papua, hasilnya bisa berbeda signifikan — dan para tersangka berpotensi terbebas dari dakwaan kerugian negara sebagaimana dituduhkan saat ini.
Karena itu, seharusnya proses audit melibatkan:
• Ahli Geologi Teknik: memahami morfologi lahan Mimika dan potensi perubahan kontur alami.
• Ahli Geodesi: memastikan elevasi lahan sebelum dan sesudah pekerjaan sesuai desain grading.
• Ahli Geoteknik: memastikan daya dukung tanah dan volume timbunan aman terhadap risiko penurunan diferensial.
Tanpa melibatkan disiplin berbagai ilmu ini, perhitungan kerugian negara yang diajukan sangat berisiko misleading, sebab volume timbunan tidak bisa disamakan seperti mengisi baskom air, melainkan harus menyesuaikan kontur dan kondisi tanah setempat.
Volume timbunan akan selalu bervariasi mengikuti kondisi lapangan — inilah kenapa penghitungan volume harus berbasis survei geodetik real-time mengacu pada penerapan Ilmu Geodesi menggunakan metode topografi kontur elevasi.
Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bahwa dalam perkara-perkara konstruksi daerah khusus seperti Papua, aspek teknis tidak bisa diseragamkan dengan wilayah Jawa atau Sumatra. Keunikan topografi Mimika justru harus dijadikan bahan pertimbangan utama dalam menentukan besaran kerugian negara dan tanggung jawab pekerjaan.
Hukum harus tegak, Tapi Bukan Berarti Abai Pada Keadilan dan Kebenaran Material.
Komentar