MK Tolak Permohonan Pendeta Papua Terkait Bupati Walikota Harus OAP

JAKARTA | PAPUA TIMES- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara yang diajukan Bastian Buce Ijie, seorang pendeta dari Kota Sorong (Pemohon I), Zakarias Jitmau (Pemohon II), serta Willem Sedik (Pemohon III) terkait Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat Orang Asli Papua (OAP) yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua.

Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat Perkara Nomor 93/PUU-XXII/2024 yang diajukan ketiga perwakilan masyarakat Papua tersebut tidak ditemukan fakta hukum. Bahwa ketiadaan kekhususan orang asli Papua (OAP) menjadi calon bupati dan walikota di Papua adalah beralasan menurut hukum dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

SIAPA CALON GUBERNUR PAPUA 2024-2029, PILIHAN ANDA
  • Dr. BENHUR TOMI MANO | YERMIAS BISAI,S.H 53%, 55539 votes
    55539 votes 53%
    55539 votes - 53% of all votes
  • KOMJEN POL MATHIUS D FAKHIRI,SIK | ARYOKO RUMAROPEN 47%, 50051 vote
    50051 vote 47%
    50051 vote - 47% of all votes
Total Votes: 105590
26 November 2024
Voting is closed

“Sementara itu, dalam permohonan a quo Mahkamah tidak menemukan fakta hukum bahwa kebijakan afirmasi bagi orang asli Papua yang tidak diberlakukan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota selain nyata-nyata tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945. Pilihan kebijakan tersebut tidak melanggar moralitas, rasionalitas, ketidakadilan, dan diskriminasi serta tidak menimbulkan problematika kelembagaan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara, in casu orang asli Papua,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Dengan kata lain, tidak terdapat alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian di atas karena apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, justru hal tersebut akan menjauhkan dari prinsip NKRI.

Sehingga berkenaan dengan persyaratan untuk menjadi bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dengan sendirinya menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

Menurut Mahkamah, kebijakan afirmasi bagi Provinsi Papua tidak bersifat permanen, tetapi sementara waktu, sehingga suatu saat dapat dihapuskan apabila tujuan pemberian kebijakan afirmasi telah terwujud. Di antara kebijakan afirmasi dimaksud yaitu pemberlakuan secara khusus sementara waktu kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil melalui pengangkatan di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang merupakan nomenklatur berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu DPRD provinsi, yang telah dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 1 Februari 2010.

Selain itu, kebijakan afirmasi bagi provinsi Papua juga mencakup ketentuan syarat calon gubernur dan wakil gubernur orang asli Papua dalam Pasal 12 UU 21/2001. Demikian juga dalam hal rekrutmen politik oleh partai politik yang memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam Pasal 28 ayat (3) merupakan kebijakan afirmasi dalam UU 21/2001.

Kebijakan afirmasi yang demikian adalah sesuai dengan semangat otonomi khusus Papua yang menekankan peran penting bagi orang asli Papua dan menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 21/2001.

Pengertian orang asli Papua telah didefinisikan dalam Ketentuan Umum UU 2/2021. Dari dua kriteria yang diatur Pasal 1 angka 2 UU 2/2021 telah mencerminkan makna keanggotaan suatu masyarakat hukum adat dapat timbul, baik karena secara alamiah yaitu berasal dari anggota/keturunan suku-suku asli, maupun karena adanya pengakuan sebagai anggota masyarakat hukum adat.

Penerimaan dan pengakuan orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat yang penentuannya diserahkan kepada masyarakat adat berdasarkan norma adat yang bersangkutan telah memenuhi prinsip kepastian hukum yang berkeadilan, oleh karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Menurut Mahkamah, tradisi mengakui orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya sebagai anggota masyarakat hukum adat sejalan dengan semangat otonomi khusus Provinsi Papua yang menjamin pengakuan atas keberadaan suku-suku aslu Papua beserta hak-hak tradisionalnya.

Penerimaan dan pengakuan orang dari luar masyarakat hukum adat yang didasarkan pada ketentuan internal atau norma adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Selain itu, Mahkamah menerangkan, dalam konteks Papua, kekhususan mengenai orang asli Papua, di antaranya berkenaan dengan syarat calon gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua dan rekrutmen politik oleh partai politik yang memprioritaskan orang asli Papua.

Sedangkan, berkaitan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun kewenangan istimewa berada di provinsi, hal a quo pada hakikatnya tidak berbeda dengan pemberian otonomi khusus Papua yang dititikberatkan pada tingkat provinsi.

Namun, karena adanya latar belakang Kesultanan Yogyakarta sebagai entitas tersendiri yang eksistensinya telah ada lebih dulu dibanding dengan terbentuknya negara Indonesia dan secara sukarela bergabung dalam NKRI. Sehingga hal ini yang menjadi alasan fundamental berkenaan dengan persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur diberikan kepada warga negara Indonesia yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur.

Sebagai informasi, perkara ini diajukan Bastian Buce Ijie, seorang pendeta dari Kota Sorong (Pemohon I), Zakarias Jitmau (Pemohon II), serta Willem Sedik (Pemohon III). Pemohon menguji materi Pasal 12 huruf a UU 21/2001 dan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2021.

Menurut para Pemohon, dalam ketentuan dimaksud tidak ada kekhususan Orang Asli Papua (OAP) untuk dapat dipilih menjadi bupati, wakil bupati, walikota, dan walikota. Pasal 12 UU Otsus Papua menyebutkan, “Yang dapat dipiliih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. orang asli Papua…”
Namun, dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 12 UU 21/2001 dimaknai, “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat Orang Asli Papua yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua.”

Pasal 28 ayat (3) UU Otsus Papua berbunyi, “Rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua dilakukan dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.” Namun, dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 28 ayat (3) UU 2/2021 tersebut dimaknai, “Rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua dilakukan dengan memprioritaskan Orang Asli Papua yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua.”

Editor | AGUSTINUS KOWO

Komentar