JAKARTA | PAPUA TIMES- Kampanye All Eyes On Papua belakangan ini menggema di berbagai laman media sosial sebagai kampanye atas protes masyarakat terhadap alih fungsi lahan di Papua yang berimbas pada Suku Awyu di Papua Selatan serta Suku Moi di Sorong, Papua Barat.
Alih fungsi lahan ini dikabarkan terjadi di Hutan Papua tepatnya di Boven Digoel yang luasnya 36 ribu hektar dan akan dibangun Perkebunan kelapa sawit.
Menanggapi persoalan alih fungsi lahan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budhy Setiawan menyatakan hal ini sedang ditindak lanjuti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dicarikan jalan keluar.
karena memang ada persoalan miskomunikasi dengan masyarakat adat. Ia pun berharap pemanfaatan hutan untuk penanaman kelapa sawit tersebut akan memperhatikan keseimbangan terhadap zona perlindungan di hutan sekitar.
“Ini akan ditindak lanjuti, kita sudah memberikan persoalan tersebut kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya dicarikan jalan keluar bagi adanya penolakan tersebut,” ujar Budhy Setiawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/06/2024).
Persoalan yang terjadi dengan masyarakat adat Papua ini terjadi lantaran adanya miskomunikasi. Persetujuan atas adanya alih fungsi lahan pada hutan tersebut seharusnya melibatkan masyarakat adat yang dapat diwakili oleh para tetua adat, namun yang terjadi malah diwakili oleh karyawan yang diakui berasal dari suku masyarakat adat tersebut.
“Jadi masyarakat adat yang hadir di situ adalah sebenarnya karyawan yang kemudian berasal dari suku tersebut yang diakui sebagai masyarakat adat. Seharusnya kan masyarakat adat yang hadir adalah mewakili tetua-tetua adat tersebut. Nah ini persoalan miskomunikasi ini sedang dijembatani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelasnya.
Ia pun berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat segera menuntaskan persoalan di tanah Papua ini, baik persoalan miskomunikasi dengan masyarakat adat maupun persoalan terhadap keseimbangan antara zona pemanfaatan dan zona produksi, apabila rencana alih fungsi lahan ini tetap berjalan. Sehingga tetap ada keseimbangan terhadap zona perlindungan hutan disekitar.
“Kita sampaikan kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ketika memang itu diberikan pemanfaatan terhadap penanaman kelapa sawit kita ingin ada keseimbangan terhadap zona perlindungan di hutan-hutan sekitar. Jangan sampai kemudian luas pemanfaatan yang diberikan kemudian terus melebar sampai membabat banyak hutan di sana,” pungkas Legislator dapil Jawa Barat III itu.
Sebelumnya perwakilan Suku Awyu dan suku Moi yang merupakan merupakan suku dari Tanah Papua mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di kawasan Jakarta Pusat pada Senin 27 Mei 2024 lalu.Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Lewat aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka. Pasalnya, mereka datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak.
“Kami meminta MA bisa memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.
Namun gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.
Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu.
Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
Mereka mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kepada masyarakat adat Suku Awyu dan suku Moi. Pasalnya, hutan adat adalah tempat mereka berburu dan meramu sagu; hutan adalah apotek bagi mereka; kebutuhan mereka semua ada di hutan.
“Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi.
Menurut mereka, keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.
“Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat.
Tigor meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi.
“Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” jelas Tigor Hutapea
Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum. Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.
Editor | HASAN HUSEN
Komentar