JAYAPURA | PAPUA TIMES- Para kepala suku dan lembaga pemerhati lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Anti Pencemaran Teluk Cenderawasih menyatakan dengan tegas menolak berbagai dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan apabila blok Wabu yang berada di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, dipaksakan untuk beroperasi.
Bila penambangan ini resmi beroperasi dipastikan bahwa limbah dari penambangan tersebut sudah pasti merusak lingkungan dan eksosistem di Teluk Cenderawasih dan sekitarnya.
Blok Wabu merupakan konsesi pertambangan dengan kandungan cadangan logam emas yang terletak di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Konsesi tambang ini di kabarkan memiliki nilai jual trilliunan rupiah dan telah dikuasai anggota holding MIND.ID.
Masyarakat Adat (pemilik) yang mendiami lokasi dimana tambang itu berada, menolak tambang tersebut diolah oleh siapapun dengan alasan apapun. Masyarakat adat setempat konsisten menolak penambangan Blok Wabu, baik sebelum adanya Daerah Otonom Baru (DOB), maupun sesudah dalam beragam aksi.
Dalam keterangan resminya,Sabtu 13 April 2024, koalisi anti pencemaran Telik Ccenderawasih menyebutkan penolakan pengelolaan blok Wabu didasarkan fakta dan pengalaman selama ini bahwa penambangan menimbulkan dampat negatif yakni menghancurkan lingkungan dan masifnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah konsesi.
Jitro Bram Homba, A.AMa, S.Sos selaku Kepala Suku Besar Yaur Hegure, mewakili Masyarakat Adat yang mendiami pesisir Teluk Cenderawasih, khususnya pesisir Teluk Sarera, Nabire, mengingatkan kepada pihak mana pun yang berambisi menguasai dan/atau mengelola tambang dimaksud, bahwa jika pada gilirannya penambangan dilakukan, dengan tegas kami katakan bahwa limbah tailing tidak boleh di buang ke laut karena merusak, menghancurkan serta mencemarkan laut.
“Wilayah Teluk Cenderawasih adalah ruang hidup kami sejak nenek moyang, sehingga kami tidak ingin dicemarkan. Teluk Cenderawasih telah menghidupkan kami dan akan terus memberi kehidupan bagi anak cucu kami,”tegas Jitro.
Donatus Sembor, Kepala Suku Besar Kepulauan Moora Nabire, meminta pelibatan Badan Konservasi Sumber Daya Aalam (BKSDA), Provinsi Papua Tengah dan provinsi Papua agar secara konsisten mengawal Teluk Cenderawasih sehingga tidak terjadi pencemaran.
Permintaan ini seiring dengan wilayah tradisional tangkapan ikan / ruang hidup ini juga merupakan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC), yang di tetapkan oleh Kemetrian Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 472/Kpts-II/1993 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8009/Kpts-II/2002 tanggal 29 Agustus 2002 dengan luas 1.453.500 Ha, belakangan sesudah nenek moyang kami memeliharanya sebagai ruang hidup secara turun-temurun.
Tak lepas dari itu Kawasan Konservasi ini merupakan kawasani dengan kandungan ekosistem dan species endemik, serta tempat berkungjung wisatawan domestik maupun asing, sehingga sebelum dicemari limbah, kami mengajak pemerintah, khususnya dinas terkait untuk segera melakukan tindakan proaktif untuk proteksi TNTC dari ancaman kerusakan lingkungan dan pembuangan limbah tailing Blok Wabu.
Menurut Donatus, jika tidak ada kontrol sejak awal, kehadiran Blok Wabu di duga akan berimbas pada sungai-sungai sepeti Wapoga, Siriwo, Lagari, Mosairo, Kali Bumi, Wanggar dan Wami, dimana kali-kali tersebut sekian lama telah digunakan sebagai tempat mata pencaharian kebutuhan hidup sehari-hari termasuk ekonomi yang terhubung dengan aktualisasi pengetahuan kekayaan kearifan local sejak nenek moyang.
Dan kali-kali dimaksud, semuanya bermuara ke pesisir-laut Teluk Cenderawasih. Karenanya penting mengingatkan kepada semua warga pesisir dampak kehadiran tambang Blok Wabu, sebelum terjadi.
Yance Sadi, Kepala Suku Besar Umari, Nabire, berpendapat bahwa, jika Blok Wabu di kelola, itu petaka bagi seluruh mahkluk hidup yang berada pada ekosistem pesisir-laut, Nabire dan pantai utara pada umumnya, jika tidak ada perencanaan yang baik.
“Buruknya praktik tata kelola tambang, sehingga tingkat keparahan dari operasi Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, terhadap ekosistem pesisi-laut pantai utara di pastikan akan terjadi,”ujarnya
Hal senada juga di katakan oleh Jack Marey, Aktifis NGO, YPKM Papua Tengah, mengatakan bahwa jika Blok Wabu di kelola akan berdampak pada kehidupan sosial, seperti kebutuhan ekonomi yang semakin sulit di akses, termasuk kesehatan perempuan dan anak.
Selain Tokoh Adat di Nabire, Kumeser Kafiar dan Apolos Mamoribo, aktifis lingkungan dan pemerhati masalah sosial di Byak, mengatakan bahwa sejauh ini tata kelola penambangan di Papua, tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup dan akses masyarakat terhadap lingkungan yang merupakan satu rangkaian ekosistem dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karenanya sebagai pemerhati masalah sosial dan aktifis lingkungan, mewakili dan mengajak Masyarakat Adat yang hidup di wilayah pesisir, Teluk Cenderawasih, yakni Byak, Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen, Supiori dan wilayah Pantai Utara dan sekitarnya, dengan tegas menolak pembuangan limbah tailing, penambangan Blok Wabu ke wilayah tangkapan tradisional masyarakat, yang merupakan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC).
Welmina Rumadas, seorang aktifis perempuan di Biak, mengatakan bahwa pembuangan limbah tambang Blok Wabu tidak bisa dibiarkan ke Teluk Cenderawasih karena akan berdampak terhadap perempuan dan anak di wilayah pesisir-laut itu.
“Sebagai aktifis perempuan, saya kuatir kaum perempuan di pesisir Teluk Cenderawasih yang keseharian hidup dipesisir dan laut serta mengkonsumsi biota laut akan mempengaruhi reproduksi dan janin. Karenanya saya mendukung sikap Koalisi Anti Pencemaran Teluk Cenderawasih,”tuturnya.
Menyikapi dinamika pro-kontra tambang Balok Wabu, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ElsHAM) Papua, Pdt. Matheus Adadikam, S.Th, meminta para pihak, baik yang terlibat secara langsung, maupun tidak, wajib mendengar, memperhatikan, mengawal pandangan dan/atau aspirasi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir Teluk Cenderawasih.
Walau sejauh ini belum diketahui rencana pembuangan tailing, namun sikap para tokoh adat adalah hal wajar, apabila operasi penambangan terpaksa atau di paksakan. Sebagaimana yang di sampaikan masyarakat tidak terlepas dari upaya melindungi dan melestarikan lingkungan hidup yang mereka tempati. Karena hak atas lingkungan yang bersih adalah hak asasi manusia yang wajib di hormati semua pihak, khususnya para pihak yang berkepentingan pada operasi penambangan Blok Wabu.
ElsHAM Papua menilai bahwa penetapan Daerah Otonomi Baru (DOB), diduga tidak terlepas dari cara merebut dan/atau menguasai tambang Blok Wabu. Penghormatan atas Hak Asasi Manusia khususnya masyarakat pemilik tambang yang selama ini menolak investasi, wajib di kedepankan dan diwujudkannyatakan oleh para pihak yang berkepentingan sebagai bentuk praktik negara yang beradab dan melaksanakan keadilan social sebagaimana amanat UUD 1945.
Disisi lain, ElsHAM Papua menilai, bahwa walau adanya penolakan, namun diduga adanya sekelompok orang yang berkonspirasi guna merebut tambang tersebut melalui pendekatan kepada tokoh intelek maupun warga setempat.
Sebagai lembaga advokasi, ElsHAM mengingatkan para pihak bahwa jangan memicu konflik diantara masyarakat hanya karena kepentingan investasi. Pengalaman penambangan yang selama ini dilakukan di Papua, bukan saja merusakan ekosistem, melainkan sistim kekerabatan warga setempat pun jadi tidak akrab alias berkonflik.
Termasuk tata kelola pengelolaan limbah yang buruk serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, warga lokal terabaikan. ElsHAM mengajak semua pihak yang berada di pesisir laut Pantai Utara Papua, untuk waspada akan ancaman pembuangan limbah tambang Blok Wabu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan perlunya menyatakan sikap penolakan pembuangan limbah tambang ke Teluk Cenderawasih, secara khusus, dan daerah Pantai Utara, pada umumnya.
ElsHAM Papua meminta dinas terkait untuk menata operasi penambangan skala kecil yang sedang terjadi di Topo, Degewo, dan Baya Biru yang rentan menggunakan bahan kimia karena akan merusak lingkungan.
Karena walaupun pengelolaan skala kecil, namun dengan intensitas yang tinggi cenderung akan merusak ekosistem pesisir-laut. Karenanya ElsHAM meminta BKSDA untuk melakukan monitorting terhadap ancaman TNTC (hilir), dan dinas terkait lainnya untuk menata pengelolaan tambang dan secara berkala memonitor dampak pembuangan limbah hasil tambang tersebut (hulu).
Editor | PAPUA GROUP
Komentar