JAKARTA | Apapun yang dinarasikan tentang usaha-usaha menjaga kelestarian lingkungan hidup tidak cukup untuk menjaga salju abadi di puncak Cartenz, Papua. Setahun lagi tidak akan ada lagi salju di Papua Pegunungan.
Pemanasan global,emisi rumah kaca sebabnya. Efeknya, sudah pasti menjadi ancaman bagi masyarakat didaerah itu.
Iklim telah berubah, potensi bencana sangat dekat. Produksi tanaman, sayur, buah dan tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber pangan di Pegunungan Jayawijaya takkan sesubur masa lalu.
“Apapun yang kita narasikan, apapun yang kita gembar-gemborkan dengan semangat baja belum cukup. Karena ternyata alam menunjukan kalibrasinya yang berbeda. Alam menyimpulkan bahwa upaya kita belum membawa dampak yang serius untuk penurunan emisi gas rumah kaca ini,”ungkap Hanif Faisol Nurofiq Menteri Lingkungan Hidup pada sesi pembukaan dan pleno Forum Nasional Pekan Iklim Bali 2025.
Salju abadi Cartenz yang berada tepat di garis khatulistiwa terus mencair. Gletser dipuncaknya, menyusut dengan cepat, dipredksi habis tahun 2026.
“Kita telah berupaya untuk terus menurunkan emisi gas rumah kaca. Tetapi alam tidak bisa dibohongi. Alam melakukan kalibrasinya sendiri. Kalibrasinya sangat nyata. Kita dapat lihat hari ini es abadi yang ada di puncak Cartenz Papua telah mencair, akan habis pada tahun 2026,”kata Hanif Faisol.

Hasil riset Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sambung Menteri Hanif, es cartenz menyusut sangat cepat. Luasan esnya juga turun drastis.
“Saya sempat berkunjung pada tahun 2023, Es di Puncak Cartenz masih meliputi dari sepertiganya. Tapi hari ini kalau kita lihat di banyak monitor maka es di puncak cartens telah tinggal pada relung-relung dari gunung batunya,”ungkap Hanif.
Riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi.
Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter. Namun, seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es mencapai satu meter per tahun.

Kondisi kian buruk pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat dimana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Sedangkan, pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.

Sementara itu, tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 km2. Fenomena El Nino tahun 2023 mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pada seminar ilmiah bertajuk ‘Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim’ menyebutkan kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
Mitigasi ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan melakukan aksi-aksi nyata dalam melakukan mitigasi perubahan iklim.
Caranya, dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim.
Editor | HANS AL| HASAN HUSEN | PAPUA GROUP
Komentar