JAYAPURA | Koalisi Penegak Hukum Dan Hak Asasi Manusia Papua mengingatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Bahlil Lahadalia, Gubernur Papua Barat Daya (PBD) Elisa Kambu dan Bupati Raja Ampat agar tidak melakukan Maladministrasi dalam masalah penambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat.
Penyelidikan terhadap penambangan Nikel di kepualaun Raja Ampat merupakan kewenangan Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K). Oleh karenanya, ketiga pejabat tersebut hendaknya mendukung upaya penegakan hukum.
“Seluruh keterangan Menteri ESDM RI, Gubernur Papua Barat Daya, Bupati Raja Ampat terkait persoalan Tambang Nikel di Raja Ampat, wajib diabaikan karena mereka tidak berwenang menilai dan menyimpulkan apapun terkait persoalan nikel yang bermasalah di kawasan Raja Ampat,”ujar Emanuel Gobay,SH,MH Koordinator Koalisi Penegak Hukum Dan Hak Asasi Manusia Papua, Minggu 8 Juni 2025 di Jayapura.
Koalisi mendesak Tim Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil segera proses hukum PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining. Pasalnya, aktifitas pertambang nikel oleh PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, PT Anugerah Surya Pratama yang beroperasi di Pulau Manura, PT Mulia Raymond Perkasa yang beroperasi di Pulau Batang Pele dan PT Kawei Sejahtera Mining yang beroperasi di Pulau Kawe jelas-jelas melanggar ketentuan.
“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya” sebagaimana diatur pada Pasal 35 huruf k, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil,”jelas Gobay.
TOLAK PERAMPASAN TANAH DAN KEKAYAAN ALAM MASYARAKAT ADAT PAPUA
Sementara itu, Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat (FOKER LSM) Papua menyikapi kebijakan pemerintah pusat terkait pemberian ijin usaha pertambangan serta proyek strategis nasional (PSN) di Tanah Papua, yang dapat dikatakan “merampas” tanah hak ulayat masyarakat adat Papua, karena pencaplokan tanah dan hutang di wilayah Papua untuk kepentingan dimaksud tanpa restu dari masyarakat adat pemilik hak ulayat.
FOKER LSM Papua menolak dengan tegas perampasan tanah dan kekayaan alam milik masyarakat adat di Tanah Papua.
Sekretaris Eksekutif FOKER LSM Papua, Abner Mansai, menyampaikan dukungan terhadap para partisipan dan mitra FOKER LSM beserta kelompok masyarakat sipil lainnya di daerah Sorong yang melakukan aksi protes dan penolakan terhadap proyek pemerintah yang dinilai tidak transparan dan merampas hak ulayat masyarakat adat, serta berimbas pada kerusakan lingkungan hidup.
Diketahui gerakan bersama masyarakat adat Suku Moi dan kelompok masyarakat sipil lainnya di Wilayah Sorong Raya, melakukan aksi menolak rencana proyek nasional pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit, dalam rangka mendukung proyek strategis nasional (PSN) di Papua Barat Daya. maupun persoalan pertambangan yang merusak lingkungan di Raja Ampat.
Sehubungan dengan hal tersebut FOKER LSM Papua menyeruhkan, Menolak Dangan Tegas Perampasan Tanah dan Kekayaan Alam Milik Masyarakat Adat di Tanah Papua. Tanah Moi dan Papua secara keseluruhan milik anak cucu orang asli Papua, bukan milik investor dan penjahat kemanusiaan.
Pemerintah diminta patuh terhadap amanat konstitusi. Pasal 18B UUD 1945, mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Serta dasar hukum lainnya yaitu Keputusan MK No. 35 / PUU-X / 2012, yang mengubah ketentuan dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan adat tidak lagi dikategorikan hutan negara.
Berdasarkan keputusan MK tersebut, Hutan adat bukan hutan negara, melainkan memiliki status khusus sebagai hutan hak, yang dikelola oleh masyarakat hukum adat sesuai adat istiadat mereka.
Editor | TIM | PAPUA GROUP
Komentar