JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang konfirmasi penarikan permohonan Perkara Nomor 193/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) pada Selasa, 11 November 2025, di ruang Sidang MK, Jakarta. Dalam sidang, Pemohon melalui kuasanya menyampaikan penarikan permohonan perkara tersebut secara daring.
Permohonan uji materi itu sebelumnya diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili Elisa Stepanus Banundi dan Joyce Meyer Giay.
Pemohon menguji beberapa pasal dalam UU Otsus Papua karena dinilai mengurangi kewenangan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dalam melindungi hak-hak masyarakat adat Papua.
Sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat itu dihadiri kuasa hukum Pemohon, Agust Giay Bedu, yang hadir secara daring.
Agust menyatakan pihaknya telah mengirim surat resmi pencabutan permohonan dan berencana untuk mengajukan kembali setelah dilakukan perbaikan berkas.
“Betul, kami sudah mengirim surat. Kami akan mengajukan kembali setelah memperbaiki permohonan,” ujar Agust di hadapan Majelis Hakim.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa MK menghormati keputusan Pemohon. “Pada prinsipnya setiap perkara yang masuk ke MK akan ditangani dengan sebaik-baiknya, secara transparan dan akuntabel. Jadi untuk perkara 193 dicabut, ya,” ujar Arief.
Sebelumnya, dua warga Papua, Elisa Stepanus Banundi dan Joyce Meyer Giay mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para Pemohon mempersoalkan ketentuan yang dianggap mengurangi kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dalam melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Para Pemohon mengujikan Pasal 42 ayat (1) huruf b dan Pasal 45 UU UU Otsus Papua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sidang perdana pemeriksaan Perkara Nomor 193/PUU-XXIII/2025 digelar di Gedung MK, Jakarta pada Rabu 29 Oktober 2025 dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan agenda mendengarkan dalil para pemohon.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Agust Giay Bedu dalam sidang mengatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
“Kajian yang dibuat pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat secara menyeluruh. Ada suku yang mengatasnamakan suku lain, padahal setiap suku di Papua memiliki kedaulatan sendiri,” ujar Agust di hadapan majelis hakim.
Agust juga menjelaskan bahwa ketentuan dalam UU Otsus Papua yang baru justru berpotensi merugikan masyarakat hukum adat dalam memperoleh penghargaan dan pengakuan hak-hak mereka.
Ia mencontohkan, Elisa Stepanus Banundi—yang merupakan anak dari pejuang Otsus Papua—tidak diakui sebagai perwakilan sukunya dalam proses kebijakan daerah.
Para pemohon menilai Otsus Papua seharusnya menjadi perwujudan langsung dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di mana kekhususan tersebut diimplementasikan melalui MRP sebagai lembaga kultural yang melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP). MRP juga memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap bakal calon kepala daerah yang berasal dari unsur OAP serta menjaga nilai-nilai adat, budaya, dan kerukunan hidup beragama.
Namun, perubahan struktur pemerintahan daerah melalui UU 2/2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 dinilai membawa konsekuensi terhadap peran MRP dalam pembentukan DPRK.
Dalam mekanismenya, keanggotaan DPRK diangkat berdasarkan pertimbangan dan persetujuan MRP. Para pemohon menilai hal ini tidak sesuai dengan semangat awal Otonomi Khusus.
Selain itu, para Pemohon juga mempermasalahkan perubahan proporsi keanggotaan dari ¼ (seperempat) menjadi ⅓ (sepertiga) sebagaimana diatur dalam penjelasan umum UU 2/2021.
Perubahan tersebut dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, yang menjamin kepastian hukum yang adil dan kesetaraan di hadapan hukum.
Berdasarkan argumentasi tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal dalam UU 2/2021—khususnya Pasal 42 ayat (1) huruf b dan Pasal 45—bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Editor | TIM | RLS MK
