NASIONAL

Wartawan Cerewet

1046

M Nasir | Anggota Forum Wartawan Kebangsaan

DI mana pun wartawan berkarya, baik di platform cetak, online, radio, televisi, maupun media baru seperti podcast, jangan takut dibilang cerewet.

Untuk menjadi wartawan perlu cerewet bertanya, supaya mendapatkan informasi rinci dan akurat.

Cerewet tidak akan membawa wartawan terjerat hukum, asalkan tidak melanggar kode etik jurnaistik dan undang-undang tentang pers nomor 40 tahun 1999. Karena itu wartawan wajib membaca kode etik dan undang-undang pers.

Kalau wartawan banyak diam di depan narasumber, tidak akan menyerap banyak informasi. Wartawan yang tidak aktif bertanya identik dengan wartawan malas, kurang menunjukkan gregetnya sebagai wartawan.

Di luar wawancara, boleh saja wartawan banyak diam, atau bicara ngalor-ngidul, puja-puji sana-sana sini seperti yang dilakukan banyak wartawan senior. Tetapi kalau sedang melakukan wawancara harus kritis, bahkan cerewet.

“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.

Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.

Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.

Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.

Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.

Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang, karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.


Bukan Manusia Pasif

Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran. Kebenaran tidak hanya datang dari satu arah, yakni penguasa. Tetapi manusia sebagai sosok rasional berhak mencari kebenaran. Bisa membedakan mana benar dan mana yang tidak.

“Peran media adalah membantu pencarian kebenaran, menolong individu mencari kebenaran. Oleh karena itu, dalam sistem libertarian media bukanlah bagian dari pemerintah, melainkan independen, otonom, dan bebas untuk mengekspresikan gagasan meskipun gagasan tersebut menyakitkan, tanpa merasa takut adanya campur tangan pemerintah,” (Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (Editor), Komunikasi Internasional, PT Remaja Rosdakarya, 1993).

Sekarang penguasa tidak bisa memaksakan kebenaran versinya sendiri. Kita tahu apa yang terjadi belakangan ini, banyak contoh.

Salah satu contoh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ketika itu menyampaikan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak di Pemilihan Umum (Pemilu).

Pernyataan itu disampaikan oleh Jokowi hari Rabu, 24/1/2023 ketika ditanya wartawan seputar kampanye.

Begitu pernyataan Jokowi tersebar di media massa dan media sosial, langsung mendapat reaksi media yang bernada mengkritisi. Pernyataan presiden dianggap kurang tepat dan tidak netral.

Media pers pun membantu mencari kebenaran secara kritis dengan mewancarai cendekiawan dan orang-orang yang paham soal undang-undang Pemilu untuk memberi pencerahan pada masyarakat yang sedang bingung dengan pernyataan presiden.

Para pihak yang bereaksi terhadap pernyataan Jokowi ketika itu bukan hanya pers, tetapi juga individu-individu dalam media sosial pun memberi penilaian.

Banyak netizen yang menafsirkan Jokowi akan bertindak semau-maunya dalam Pemilu 2024, karena putranya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto.

Jokowi pun kemudian menegaskan, pernyataannya bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye sebatas menjelaskan ketentuan yang ada di undang-undang Pemilu. Presiden meminta hal itu tidak diinterpretasikan atau ditarik ke mana-mana (Harian Kompas, 27/1/2024).

Demikianlah kebebasan berpendapat sekarang, kebebasan pers di era 4.0, libertarian yang juga ditandai dengan sistem penyebaran berita menggunakan internet dan bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Namun demikian, libertarian di Indonesia dilapisi dengan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan kode etik jurnalistik dan undang-undang tentang pers No 40 Tahun 1999.

Wartawan harus merdeka, independen, tanpa sensor seperti yang disebut dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sebagai bentuk rasa tanggung jawab sosial, wartawan Indonesia wajib mentaati kode etik jurnalistik (KEJ) dan pedoman-pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Terakhir pedoman-pedoman itu disempurnakan dan disahkan pada 16 November 2023 oleh Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, SH, M.S.

Pedoman-pedoman pemberitaan itu adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.

Secara otomatis kebebasan pun kemudian diatur dengan pedoman-pedoman tersebut demi kebaikan bersama dan tanggung jawab sosial.

Namun demikian, KEJ memperkuat kerja profesional wartawan. Dalam KEJ, wartawan tidak boleh berbohong, dan menerima suap dari sumber berita dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi independensi.

Pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.

Tidak Beropini
Bahkan dalam KEJ, wartawan tidak boleh beropini, mencampurkan fakta dan opini pribadi. Hal ini juga menuntut wartawan bekerja lebih cermat dan berpikir kritis dalam melihat fakta.

Untuk menghindari opini, jangan menggunakan kata sifat kecuali dengan menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas.

Misalnya kata sifat “kaya”, diganti dengan menyebutkan fakta-fakta harta kekayaan yang dimiliki. Kata “cantik”, diganti dengan menyebut ciri fisik yang dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan lain-lain.

Sejumlah kata sifat yang juga perlu dihindari antara lain, hebat, baik, luar biasa, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil, jahat, kejam, dan seterusnya.

Dengan menguraikan kata sifat dengan fakta berupa kata benda dan kata kerja, wartawan tidak mudah terjebak dalam permainan kata orang-orang politik.

Misalnya, ada narasumber yang mengatakan program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) sekarang sudah baik. Kata “baik” harus dijelaskan baik seperti apa? Ini harus diuraikan supaya wartawan tidak ikut beropini.

Begitu pula kalau narasumber mengatakan dengan kata sifat, “Layanan MBG sekarang amburadul”. Kata “amburadul” harus dijelaskan. Di sini wartawan harus cerewet mempertanyakan kata sifat “amburadul” yang disampaikan oleh narasumber.

“Tadi bapak mengatakan MBG amburadul dan tidak tepat sasaran. Tolong jelaskan amburadulnya seperti apa. Mohon dijelaskan pak”, demikian contoh pertanyaan yang terus mengejar.

“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.

Wartawan dalam kode etik jurnalistik tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik.

Penulis: M Nasir | Anggota Forum Wartawan Kebangsaan | Mantan Wartawan Harian Kompas

Exit mobile version