JAKARTA | Mahkamah Konstitusi, Senin 22 September 2025, menggelar sidang lanjutan Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya.
Dalam perkara tersebut, para pemohon mendalilkan ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinilai telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Korban terdampak Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate)—yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN)—hadir dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) pada Senin (22/9/2025).

Ssidang lanjutan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo mendengarkan saksi pemohon Liborius Kodai Moiwend asal Kampung Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Moiwend mengaku sebagai korban PSN Lumbung Padi Nasional di Papua. Ia menuturkan proyek tersebut berlangsung tanpa dialog dengan masyarakat adat.
“Pertama kali PSN masuk tidak pernah duduk dengan tuan dusun. Mereka masuk seperti pencuri,” ungkap Liborius dilansir laman resmi Mahkamah Konstitusi, Selasa, 23 September 2025.
Ia menambahkan, pada 12 Agustus lalu, sekitar 300 unit ekskavator didatangkan melalui pelabuhan milik perusahaan perikanan.
Menurut Liborius, PSN Lumbung Padi Nasional justru merusak hutan, rawa, dan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warganya.
Protes berupa pemalangan juga tak menghentikan aktivitas, bahkan pembongkaran hutan justru dikawal aparat TNI.
“Jadi, mereka bongkar hutan, ada TNI. Masyarakat kami tidak bisa berbuat apa-apa, rawa hutan semua dihancurkan oleh PSN ini,” katanya dengan tegas menolak adanya PSN Lumbung Padi Nasional tersebut.
Liborius menerangkan tanah yang sudah dijaga oleh masyarakat setempat dibongkar. Sehingga masyarakat setempat sudah tidak bisa lagi mencari makan dan minum di sana.
Ia juga menyinggung kunjungan Gubernur Papua Selatan dan Bupati setempat ke lokasi PSN. “Mereka bilang panen raya, padahal itu bohong. Bukan panen raya, itu tipu,”ucapnya.
Sementara itu Saksi dari Pemerintah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Borobudur Faisal Santiago menyatakan PSN yang diatur dalam UU Cipta Kerja menghadirkan paradigma baru pembangunan nasional.
Menurutnya, kebijakan ini memberi kewenangan khusus kepada pemerintah untuk mempercepat infrastruktur dengan tetap memperhatikan hak-hak konstitusional masyarakat.
“Model ini mengakui bahwa keseragaman tidak selalu identik dengan keadilan. Keadilan distributif justru memerlukan pendekatan berbeda sesuai kebutuhan setiap daerah,” ujar Faisal.

Ia menegaskan, pengaturan PSN dalam UU tersebut tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang bersifat absolut.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Danang Parikesit, menekankan pentingnya tata kelola dan integrasi PSN dengan kebijakan sektor lain.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur harus dipandang sebagai instrumen transformasi sosial-ekonomi, bukan tujuan akhir.

Ia menyoroti perlunya perencanaan berbasis bukti, evaluasi berbasis outcome, partisipasi publik, serta keberlanjutan fiskal dan sosial.
Danang menyebut dalam konteks Indonesia, PSN di bidang jalan tol telah membawa manfaat penting dalam menurunkan waktu tempuh antarkota dan mendukung distribusi logistik nasional. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Badan Kebijakan Fiskal (BKF), kontribusi jalan tol terhadap penurunan biaya logistik masih terbatas bila tidak diikuti dengan integrasi moda transportasi lain, perbaikan manajemen angkutan barang, dan penataan distribusi perkotaan.
Hal ini konsisten dengan studi OECD (2015) yang menekankan bahwa infrastructure quality, bukan semata-mata kuantitas, yang berpengaruh terhadap produktivitas.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Para Pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret.
Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, sejumlah pasal lain dalam UU Cipta Kerja juga turut dipersoalkan, seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2).
Ketentuan tersebut dianggap membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Dengan demikian, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mereka berharap, melalui permohonan ini, Mahkamah dapat memastikan akuntabilitas penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang kewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Editor | HASAN HUSEN | PAPUA GROUP
Comment