JAKARTA | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) secara resmi melanjutkan pemeriksaan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Tahun 2024 pasca Putusan MK untuk PSU Provinsi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan nomor perkara Nomor 328/PHPU.GUB- XXIII/2025 dan perkara Nomor 331/PHPU.BUP-XXIII/2025 Kabupaten Barito Utara.
Keputusan MK untuk pemeriksaan lanjutan PHPU Gubernur Papua dan Bupati Barito Utara ini disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra pada sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Tahun 2024 pasca Putusan MK untuk Provinsi Papua, Kabupaten Boven Digoel dan Barito Utara pada Rabu 10 September 2025, pukul 13.40 WIB.

Sidang yang berlangsung secara daring tersebut dipimpin Ketua MK, Dr. Suhartoyo S.H., M.H.
“Untuk 2 perkara lain yang juga dipanggil pada hari yaitu perkara 328 PHPU Gubernur Papua dan perkara 331 PHPU Bupati Kabupaten Barito Utara akan dilanjutkan. Para pihak diperintahkan untuk hadir pemeriksaan lanjutan yang di jadwalkan hari Jumat 12 September 2025, “ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi menjelaskan sidang lanjutan tersebut dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, saksi ahli dan bukti-bukti tambahan untuk pembuktian lebih lanjut dari para pihak.
“Ini sekaligus merupakan panggilan resmi untuk sidang pemeriksaan lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi atau ahli dan pengesahan alat bukti tambahan,”jelasnya.

Pemeriksaan lanjutan dengan ketentuan untuk perkara tingkat provinsi masing-masing pihak dapat mengajukan saksi/ahli maksimal 6 orang, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota masing-masing pihak dapat mengajukan saksi/ahli maksimal 4 orang.
“Daftar saksi ahli identitas, keterangan saksi atau ahli, curriculum CV (curriculum vitae) dan segala macamnya paling lambat 1 hari kerja sebelum sidang pemeriksaan persidangan. Jadi paling lambat hari Kamis atau besok sudah diterima Mahkamah Konstitusi. Penambahan alat bukti sudah bisa disampaikan ke mahkamah bagi perkara yang lanjut seusai jadwal, jam kerja di Mahkamah Konstitusi mulai hari ini sampai dengan besok,”jelas Saldi Isra.
Diketahui, Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Nomor Urut 1, Benhur Tomi Mano–Constant Karma, mengajukan permohonan PHPU pasca-PSU Pilgub Papua berdasarkan Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025.
Mereka mendalilkan adanya selisih suara sebesar 0,8 persen atau 4.134 suara akibat partisipasi pemilih yang melebihi 100 persen di 62 TPS.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Papua, Paslon Nomor Urut 1 memperoleh 255.683 suara, sedangkan Paslon Nomor Urut 2, Matius Fakhiri–Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, meraih 259.817 suara.
Selisih tersebut memang masih berada di bawah ambang batas perselisihan PHPU yang ditetapkan sebesar 10.310 suara.
Namun, Pemohon mengklaim seharusnya mereka justru unggul tipis dengan 246.418 suara, sementara Paslon Nomor Urut 2 hanya berhak atas 245.528 suara.
Menurut Pemohon, kelebihan suara tersebut terjadi karena adanya penambahan pemilih di 62 TPS di delapan kabupaten/kota yang melanggar Putusan MK Nomor 304.

Putusan tersebut telah menegaskan bahwa DPT PSU wajib menggunakan DPT dari Pemilu 27 November 2024, sehingga tidak boleh ada pemilih baru dalam PSU pada 6 Agustus 2025.
Pemohon menyatakan bahwa keberatan telah disampaikan sejak pleno tingkat distrik, kabupaten, hingga provinsi, namun KPU Papua selaku Termohon tidak mengindahkan keberatan tersebut. Bahkan, rekomendasi Bawaslu Papua yang memberi saran perbaikan juga tidak dijalankan.
Pemohon menilai hal ini semakin menguatkan adanya pelanggaran serius dalam pelaksanaan PSU Pilgub Papua.
Selain itu, Pemohon menuding adanya ketidaknetralan sejumlah pejabat negara. Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil Lahadia, disebut terlalu sering melakukan kunjungan kerja ke Papua yang dinilai bermuatan politik untuk mendukung Paslon Nomor Urut 2.
Pemohon juga menuding Pj Gubernur Papua Agus Fatoni dan Bupati Keerom Piter Gusbager melakukan intervensi politik demi kemenangan pihak lawan.
Tidak hanya itu, Pemohon mengklaim adanya intimidasi aparat kepolisian terhadap penyelenggara pemilu di tingkat bawah, mulai dari KPPS, PPD, hingga KPU daerah, untuk memanipulasi hasil suara dalam formulir C.Hasil dan D.Hasil KWK. Hal ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran serius yang merugikan Pemohon.
Atas dasar itu, Pemohon meminta MK membatalkan Keputusan KPU Papua Nomor 640 Tahun 2025 terkait penetapan hasil Pilgub Papua pasca-Putusan MK, khususnya pada 92 TPS bermasalah.
Pemohon juga meminta MK menetapkan hasil suara Pilgub Papua sesuai dengan klaim mereka.
Editor | HANS AL | PAPUA GROUP