MERAUKE | Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019, KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi dengan melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemendagri, BPKP, LKPP, serta BP3OKP.
Koordinasi ini melahirkan sejumlah perbaikan salah satunya penyatuan tiga sistem digital, yakni Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), dan Sistem Informasi Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaporan Pembangunan Papua (SIP3), untuk memisahkan dan menandai alokasi dana Otsus.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan, sebagai salah satu variabel dalam penentuan alokasi dana Otsus, pembersihan data Orang Asli Papua (OAP), menjadi bagian penting agar program dana Otsus lebih tepat sasaran.
“Ini langkah sederhana, tapi krusial untuk mencegah moral hazard, seperti satu kegiatan yang diklaim dibiayai lebih dari satu sumber,” tegas Kasatgas Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria pada Seminar dan Lokakarya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Dana Otsus bekerja sama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) melalui program Corruption Prevention in Forestry Sector (CPFS) serta Pemerintah Provinsi Papua Selatan, yang digelar di Merauke, 22 Agustus 2025.
Untuk itu, kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan untuk memperkuat regulasi daerah, menyusun rencana aksi sinkronisasi data Orang Asli Papua (OAP), membuka ruang partisipasi publik, serta memperbaiki mekanisme pengawasan.
KPK, lanjut dian, juga turut memastikan akan mengawal hasil lokakarya hingga level kementerian bahkan Presiden, agar perbaikan tata kelola dana Otsus berjalan efektif.
Dalam tiga tahun terakhir alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua Selatan mengalami fluktuasi. Pada tahun 2023, dana yang diterima mencapai Rp1,48 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp1,97 triliun pada 2024, namun kembali menurun menjadi Rp1,62 triliun pada 2025.
Dana Otsus ini berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional sebesar 2,25%, yang digelontorkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara, sesuai UU No. 2 Tahun 2021, dana Otsus Papua Selatan TA 2025 sebesar 2,25% dari DAU tersebut, selama ini dialokasikan untuk 1% kegiatan yang bersifat block grant yakni pelayanan publik dan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP), serta 1,25% kegiatan specific grant yakni sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Kendala dalam Implementasi Dana Otsus
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Papua Selatan, Apollo Safanfo, mengungkap bahwa terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaan dana Otsus di Papua Selatan.
Salah satunya yakni benturan regulasi antara Undang-Undang Otsus dan berbagai undang-undang sektoral kementerian/lembaga pusat.
Meski UU Otsus seharusnya memberikan kekhususan bagi Papua, kata Apollo dalam praktiknya aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) seringkali lebih kuat posisinya dibanding Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga program Otsus di tingkat daerah menjadi lemah.
“Hingga saat ini, regulasi turunan UU Otsus baru berupa tiga PP, yakni PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP, serta PP No. 106 dan PP No. 107 Tahun 2022. Selain itu, pasal-pasal dalam UU Otsus juga cenderung bersifat delegatif sehingga menyulitkan implementasi di lapangan,” tutur Apollo.
Dengan demikian, melalui kegiatan ini, Apollo menyampaikan apresiasi atas kehadiran KPK dan GIZ yang mendorong perbaikan tata kelola dana Otsus, salah satunya dengan memperbaiki kendala yang selama ini ditemui di lapangan.
Menurutnya, dana Otsus seharusnya berfungsi sebagai pendorong percepatan pembangunan, bukan menggantikan Dana Alokasi Umum (DAU) yang telah dialokasikan sebelumnya.
“Saya ibaratkan seperti perahu bermesin ganda. DAU itu mesin utama, dan Otsus adalah tambahan tenaga. Sayangnya, yang terjadi justru Otsus menggantikan DAU, misalnya di sektor pendidikan,” tambah Apollo.
Editor | TIM | PAPUA GROUP
Komentar