Karyawan Freeport Persoalkan Pensiun ke MK

JAKARTA | Tiga karyawan PT Freeport Indonesia peserta Dana Pensiun Freeport Indonesia, mengajukan uji materiil Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 164 ayat (2) UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tiga karyawan PT Freeport Indonesia-Para Pemohon yaitu Alfonsius Londoran, Nurman, dan Abdul Rahman mempersoalkan ketentuan pembayaran manfaat pensiun bagi peserta secara berkala serta pembayaran manfaat pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20 persen dari manfaat pensiun.

Kuasa hukum para Pemohon, Harris Manalu dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 139/PUU-XXIII/2025 pada Jumat 22 Agustus 2025 di ruang Sidang MK, Jakarta, menjelaskan bahwa ketentuan tersebut merugikan pekerja yang mengalami PHK karena memasuki usia pensiun. Sebab, para pekerja tidak lagi berhak menerima penuh manfaat dana pensiun, pesangon, maupun penghargaan masa kerja yang telah mereka kumpulkan selama bekerja.

sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 139/PUU-XXIII/2025 pada Jumat 22 Agustus 2025 di ruang Sidang MK, Jakarta. (foto:Humas MK)

Untuk itu, para pemohon meminta agar pembayaran manfaat pensiun dapat dilakukan secara berkala, namun jika peserta memilih pembayaran sekaligus maka harus diberikan penuh atau 100 persen.

“Kerugian para Pemohon bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada saat para Pemohon memasuki usia pensiun nanti pada tahun 2026 atau 2027. Para Pemohon tidak dapat menerima pembayaran seluruh manfaat pensiun secara sekaligus,” ujar Harris Manalu dilansir laman resmi MK.

Pasal 161 ayat (2) UU P2SK menyatakan, “Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak harus dilakukan secara berkala.” Pasal 164 ayat (2) UU P2SK menyebutkan, “Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Manfaat Pensiun.”

PT Freeport Indonesia mengikutsertakan para pemohon pada program Dana Pensiun Freeport Indonesia yang seluruh iurannya ditanggung PT Freeport Indonesia selaku pemberi kerja.

Sebagaimana ketentuan yang diberlakukan PT Freeport Indonesia, para Pemohon tidak berhak lagi mendapat uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja atas terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan memasuki usia pensiun apabila jumlah iuran dana pensiun dan hasil pengembangannya yang ditanggung PT Freeport Indonesia lebih besar dari jumlah perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.

Akibat berlakunya Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK, para Pemohon tidak dapat lagi menikmati imbalan 100 persen manfaat dana pensiun atau uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang telah dipupuk selama terjadi hubungan kerja ketika para Pemohon mengalami PHK karena alasan memasuki usia pensiun pada saatnya nanti. Padahal, kata para Pemohon, pembayaran manfaat pensiun tidak boleh dibatasi karena program pensiun ini bersifat sukarela bukan wajib.

Karena program pensiun yang diikuti para Pemohon bersifat sukarela, dalam arti boleh menjadi peserta dan boleh tidak menjadi peserta, maka berdasarkan logika hukum yang membantu dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum secara rasional dan konsisten, seharusn peraturan pembayaran manfaat dana pensiun pada Dana Pensiun Freeport lndonesia tidak terdapat pembatasan atau pengharusan pembayaran manfaat pensiun bagi peserta, janda/duda, atau anak secara berkala.

Selain itu seharusnya juga tidak dibatasi ketentuan pembayaran manfaat pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20 persen dari manfaat pensiun.

Dengan demikian dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 161 ayat (2) UU P2SK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Jandal/Duda, atau anak dapat dilakukan secara berkala, namun apabila peserta memilih pembayaran manfaat pensiun secara sekaligus maka pembayarannya harus dilakukan secara sekaligus.”

Para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran Maanfaat Pensiun secara sekaligus sebanyak 100% (seratus persen) dari Manfaat Pensiun.”

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Para hakim konstitusi sependapat para Pemohon harus menyampaikan argumentasi yang dapat meyakinkan Mahkamah mengubah pendiriannya dari apa yang sudah diputus dalam Putusan MK Nomor 155/PUU-XXII/2024 dan 61/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian norma yang sama.
“Meskipun norma itu sudah diputus tetapi itu tetap bertentangan, itu harus diyakinkan, di mana kemudian terus terangnya tidak pasnya amar putusan Mahkamah Konstitusi, tidak hanya berangkat dari bunyi pasal,” tutur Arsul dilansir laman resmi MK.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan baik soft copy maupun hard copy harus diterima Mahkamah paling lambat pada Kamis, 4 September 2025 pukul 12.00 WIB.

Editor | TIM | PAPUA GROUP