Pengamat: Ganjar Paling Paham Persoalan di Desa Dibanding Prabowo dan Anies

JAYAPURA | PAPUA TIMES- Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai eks Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo sebagai Bakal Calon Presiden (Bacapres) yang paling memahami persoalan-persoalan di tingkat desa. Sepanjang jadi gubernur, menurut Emrus, Ganjar juga sukses membangun desa-desa di Jateng.

“Pembangunan suatu negara seharusnya memang dimulai dari membangun mikro, yaitu dari keluarga baru kemudian desa. Saya sangat setuju Ganjar Pranowo membangun dari desa. Kalau desa sudah terbangun, otomatis camat pasti sejahtera, provinsi pasti sejahtera, dan negara pasti sejahtera,” kata Emrus saat dihubungi di Jakarta, Senin, (16/10/2023).

Emrus memandang Ganjar memiliki rekam jejak yang apik saat menjabat sebagai Gubernur Jateng. Selama sepuluh tahun, Ganjar tercatat telah membangun 2.300 desa mandiri energi dan membangkitkan 818 desa wisata dan menginisiasi 29 desa anti korupsi.

“Catatan ini tentunya tidak terlihat dimiliki Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan bacapres Anies Baswedan saat dia menjadi sebagai Gubernur DKI Jakarta yang merupakan kota metropolitan,” ucap Emrus.

Emrus memandang pembangunan desa bukan hanya sekadar pembangunan yang berorientasi ekonomi. Sumber daya manusia (SDM) yang ada di desa juga perlu didongkrak kualitasnya. Karena itu, Emrus menyarankan agar Ganjar menyertakan gagasan peningkatan kualitas pendidikan di desa sebagai bagian dari visi-misi pembangunan desa.

“Pendidikan di desa tidak boleh hanya sampai SD. Pendidikan di desa itu harus diarahkan pada skill tertentu SMK tertentu yang sesuai dengan keunggulan desanya. Semisal desa itu perlu pengawetan ikan, maka SMK pengawetan ikan dengan kualitas yang bagus perlu dibangun. Sehingga desa-desa ini mempunyai kemampuan ekspor di bidang keunggulan desanya,” kata Emrus.

Kinerja Ganjar yang baik dalam membangun desa-desa di Jateng, lanjut Emrus, perlu diperluas ke wilayah-wilayah lain. Ia berharap Ganjar segera menyusun program terperinci untuk membangun desa. Dengan begitu, masyarakat di luar Jateng pun bisa memahami arah pembangunan desa yang digagas Ganjar.

“Komunikasi yang efektif menjadi sangat penting agar menjadi isu strategis yang memiliki kedekatan dengan masyarakat desa. Intinya harus relate apa yang disampaikan dengan persoalan di desa. Jangan hanya jargon ketika menjelaskan soal desa. Ketika kampanye, disesuaikan dengan keunikan desa itu,” kata dia.

Tak kalah penting, kata Emrus, ialah sosialisasi program di media sosial. “Pembangunan desa ala Ganjar itu juga harus terdengar di media sosial di Twitter dan Tiktok dan YouTube sehingga masyarakat desa lain juga menonton terhubung secara emosi ketika membutuhkan solusi,” imbuhnya.

Ganjar memang rutin bicara mengenai persoalan-persolanan di desa. Saat mengisi acara Forum Akademisi Jaringan Indonesia (Jari) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (12/10) lalu, misalnya, Ganjar menegaskan bahwa mengelola desa tak bisa disamakan dengan mengelola wilayah semisal kabupaten atau provinsi.

Secara khusus, Ganjar mengaku tak setuju jika kepala desa diberikan seragam. Menurut dia, ada banyak dampak negatif yang potensial muncul jika kades berseragam. Salah satunya ialah potensi korupsi dana desa yang besar oleh para kades.

“Dia (kades) akan ngikuti kakaknya. Siapa kakaknya? para bupati, para gubernur. Itu kakaknya. Maaf, exercise-nya adalah ada negatif. Apa itu? Kavling project, nanti ujungnya dikorupsi, dan saya mendampingi sampai hari ini,” ujar politikus PDI-P yang juga Ketua Dewan Pembina DPP Papdesi itu.

Editor | TIM