JAYAPURA | PAPUA TIMES- Pendekatan pembangunan desa atau kampung di Tanah Papua, harus dirubah. Pendekatannya harus partisipatif dan berbasis kearifan lokal.
Perubahan pendekatan pembangunan masyarakat desa, dari pendekatan yang berorientasi pada pertumbuhan dengan distribusi uang dan politik bantuan material, berubah menjadi pendekatan partisipatif dan swakarsa warga masyarakat desa itu sendiri.
Pendekatan partisipatif ini perlu dikombinasikan dengan pendekatan yang menggali dan mengembangkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Papua, yaitu Noken.
Hal itu dikemukakan Prof Dr Drs Avelinus Lefaan,MS, Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (FISIP) Uncen Jayapura.
“Pendekatan partisipatif ini dikombinakan dengan kearifan lokal Noken, bukan saja sebagai karya peradaban material, tetapi kandungan makna filosofisnya yang sekaligus menjadi landasan identitas ke-Papuaan,”ungkap Levaan saat menyampaikan Pidato Ilmiahnya disela-sela Pengukuhan 4 Guru Besar Uncen, Senin pekan lalu, 7 Agustus 2023, di Auditorium Uncen, Abepura, Kota Jayapura, Papua.
Prof Lefaan menekankan pendekatan partisipatif dan kearifan lokal Papua, mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bukan sebaliknya mengandalkan pada Sumber Daya Alam (SDA).
Ia memaparkan sejak era reformasi, kurang lebih 23 tiga tahun terakhir, terjadi perubahan sistem politik secara signifikan dalam tata pemerintahan di Indonesia, yaitu perubahan dari sistem politik otoriter menjadi sistem politik yang demokratis.
Implikasi atas perubahan itu menjadikan posisi Papua lebih otonom untuk mengatur tata pemerintahan sendiri dari tingkat provinsi hingga ke daerah perdesaan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Otsus Papua maka secara politis dan sosial budaya pembangunan wilayah perdesaan di Tanah Papua juga mengalami perubahan secara cukup signifikan.
Begitupun dengan lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, semakin besar perhatian pemerintah terhadap pembangunan perdesaan di wilayah provinsi Papua.
Menurut Guru Besan Uncen itu, terbitnya kedua undang-undang tersebut maka distribusi uang ke desa signifikan dan harusnya memacu pembangunan dan pemberdayaan di kampung-kampung sehingga mewujudkan masyarakat di Papua sejahtera dan makmur. Namun yang terjadi sebaliknya. Gelontoran Dana Desa dan Dan Otsus ke desa di Papua malah membuat masyarakat malas untuk memproduksi pangan lokal.
Masyarakat mulai malas bekerja, dan hidup hanya menggantungkan diri dari dana distribusi uang dari dana Otsus maupun dana desa. Hanya menuggu pencairan dana yang rata-rata setahun tiga kali, dan selama periode menunggu dana cair mereka tidak mau lagi bekerja di kebun memproduksi pangan lokal.
“Sungguh situasi yang memprihatinkan, distribusi uang ke desa tidak membawa manfaat bagi pemberdayaan warga desa, tetapi justru menjadi musibah karena hilangnya etos kerja berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan lokal.”
“Ini adalah sebuah kekeliruan strategi pembangunan perdesaan yang berakibat fatal dan bahkan terjadi semacam tragedi desa. Kehadiran distribusi uang ternyata tidak membangun kualitas SDM, tetapi justru membuat warga desa tidak produktif dan malah menjadi konsumtif,”papar Lefaan.
Kata Prof Levaan, terjadi pergeseran kebiasaan hidup masyarakat Papua. Bila sebelumnya dengan kearifan bertahan hidup mengolah kebun atau lahan pertanian dan selama ini terbukti tidak pernah terjadi kelangkaan pangan.
Malah setelah era Otsus dan menyusul dana desa, masyarakat Papua pun beralih dan bergantung ke pangan modern. “Oleh karena itu, sekali lagi saya sarankan, perlu ada perubahan dalam pembangunan masyarakat desa dari perndekatan beriorentasi distribusi uang dan politik bantuan material berubah menjadi pendekatan partisipatif dan dikombinasikan dengan mengembangkan kearifan lokal,”pungkas Prof Lefaan.
Editor | HANS BISAY