PSU Papua Bisa Digugat ke MK, Dampaknya Pasti Buruk

JAYAPURA | PAPUA TIMES- Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Papua berhak mengajukan sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak ada larangan atau dasar hukum yang membatasi hak tersebut.

Dari 24 daerah yang diperintahkan MK menggelar PSU, 19 daerah telah melaksanakan PSU, 7 diantaranya kembali digugat ke MK. Bagaimana dengan PSU Papua nanti?

PSU, Ko Pilih Siapa
Poll Options are limited because JavaScript is disabled in your browser.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Putaran Pertama Cagub BTM Meraih Suara Terbanyak 269.970 Suara

Ketua KPU saat Pertemuan Dengan Pj Gubernur Agus Fatoni diruang kerjanya, Kantor Gubernur Dok II, Kota Jayapura. (foto:Dian M Sawaki)

Idealnya, PSU Gubernur dan Wagub Papua tanggal 6 Agustus 2025 merupakan proses pemilihan terakhir dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, sehingga melahirkan pemimpin yang kuat. Itu apabila PSU berjalan ideal tapi bila berakhir di MK, maka dampak buruknya sangat luas bagi rakyat Papua.

Antara lain dampak anggaran, PSU menyerap APBD cukup besar dan sudah pasti pelayanan publik macet. Tidak ada layanan pendidikan gratis,kesehatan gratis dan lainnya.

Selanjutnya dampak politik, kepemimpinan di Papua tidak mendapatkan legitimasi karena hanya dipimpin seorang penjabat yang ditunjuk pemerintah pusat dan bukan lahir dari keingginan rakyat Papua.

Ketua KPU Provinsi Papua, Diana S Simbiak mengatakan bahwa harapan seluruh masyarakat agar PSU Gubernur dan Wagub Papua berlangsung jujur, adil dan aman. Tanpa ada masalah, termasuk gugat menggugat hasil PSU ke MK.

Namun demikian, Simbiak menegaskan tidak ada batasan atau dasar hukum yang melarang pasangan calon kepala daerah menggugat hasil PSU. Hukum membolehkan hasil PSU disengketakan asalkan dengan dalil, bukti dan fakta hukum yang memadai.

“Terkait dengan ada atau tidak adanya gugatan lagi itu (gugatan PSU) ke MK, kita (KPU) tidak bisa menentukan, apalagi membatasi,”kata Simbiak mengiteraksi isu hasil PSU Papua kemungkinan tidak bisa digugat ke MK.

Simbiak menegaskan bahwa KPU Papua dan penyelenggara lainnya tidak punya wewenang membatasi hak konstitusional pasangan calon kepala daerah untuk mendapatkan kepastian dan perlidungan hukum.

“Setiap calon punya hak kontitusi. Kalau calon merasa tidak puas dan dirugikan (dalam PSU), haknya bisa digunakan untuk menggugat,”jelas Simbiak kepada pers usai pertemuan dengan Penjabat Gubernur Papua Agus Fatoni, Kamis 10 Juli 2025, di ruang kerja kantor Gubernur Papua,Dok II, Kota Jayapura.

Anggota KPU Iffa Rosita menerima audiensi Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Carel Simon Petrus Suebu dan Anggota DPD Provinsi Provinsi Papua Pegunungan, Sopater Sam, di Kantor KPU, (foto:Humas KPU-RI)

Terpisah, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Iffa Rosita menekankan netralitas serta integritas KPU, Bawaslu, pemerintah daerah serta seluruh pihak terkait, demi terselenggaranya PSU yang adil dan jujur. Distribusi logistik juga menjadi perhatian utama KPU.

“Butuh kerja sama yang baik antara penyelenggara dengan pemerintah daerah,”kata Iffa saat audiensi dengan Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Carel Simon Petrus Suebu dan Anggota DPD Provinsi Provinsi Papua Pegunungan, Sopater Sam di Kantor KPU Pusat.

Peneliti Ahli Pertama pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Aryo Wasisto mengatakan PSU yang digugat mengindikasikan adanya masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada. “Dan memiliki dampak serius dari berbagai aspek, pertama dampak hukum,”ungkap Aryo dalam analisis tentang Gelombang Pertama Pemilihan Suara Ulang Pilkada.

Aryo menyebutkan PSU yang digugat akan mengalami proses sidang yang berpotensi memperpanjang ketidakpastian hukum. Hal ini memberikan implikasi langsung terhadap penundaan pelantikan kepala daerah terpilih yang kemudian menghambat proses pemerintahan dan keberlanjutan pelayanan publik.

Meskipun Kementerian Dalam Negeri RI berupaya memastikan pelayanan publik dengan berkoordinasi dengan penjabat, ketiadaan kepemimpinan yang terlegitimasi mengurangi nilai demokrasi.

Ketua KPU Papua Saat Tandatangan NPHD disaksikan Pj Gubernur, Wamendagri, Kapolda dan Pejabat Kodam. Untuk PSU 6 Agustus 2025, KPU kebagian dana Rp93 miliar, Bawaslu terima Rp38,95 miliar, Polda Papua terima Rp20 miliar dan Kodam XVII/Cenderawasih Rp14 miliar, totalnya mencapai Rp 165,95 miliar. (foto:Dok PT)

Selanjutnya adalah dampak anggaran. PSU menambah beban biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung pemerintah (APBN/APBD) serta berdampak ke layanan publik.

Dampak berikutnya adalah politik dan legitimasi. PSU yang digugat kembali memicu risiko terjadinya PSU yang berulang di kemudian hari. Pengalaman sebelumnya, menunjukkan PSU bisa terulang jika MK memutuskan adanya pelanggaran yang berpengaruh. PSU yang masih digugat berpotensi menimbulkan kehilangan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Kemudian beban institusional menjadi salah satu dampak signifikan dari meningkatnya jumlah gugatan terhadap Pilkada maupun PSU. Jumlah gugatan terus meningkat, proses peradilan berpotensi mengalami penumpukan, sementara waktu penanganan terbatas.

Bagian yang sangat krusial dalam menghadapi kompleksitas PSU adalah melakukan perbaikan terhadap transparansi di setiap tahapan, mulai dari pencalonan, pemungutan suara, hingga pengumuman hasil. Pada tahap ini, sinergi antara KPU dan Bawaslu sangat penting dalam memperkuat kinerja penyelenggara supaya tahapan PSU berjalan dengan lebih transparan serta dapat dipertanggungjawabkan.

“Selain itu, KPU dan Bawaslu juga perlu melakukan peninjauan kembali prosedur dan memastikan kepatuhan anggota terhadap regulasi. Mengingat masalah profesionalisme dan integritas sering kali terjadi di lapangan. Dibutuhkan sistem yang efektif untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian prosedur yang terjadi, termasuk peninjauan ulang terhadap prosedur penghitungan suara, pelipatan surat suara, dan pengawasan di tingkat TPS,”jelas Aryo dalam analisisnya.

Editor | HANS AL | HASAN H | PAPUA GROUP