Melepas kepergian orang tua, sahabat sekaligus guru Bapak Usman Fakaubun, adalah kehilangan besar bagi insan pers di Papua. Beliau adalah ketua PWI Papua dua periode, yakni tahun 1994 – 2004. Sampai meninggalnya, beliau masih Ketua Dewan Kehormatan PWI Papua.
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari sosok Usman Fakaubun. Ia pribadi yang gemar bersilaturahmi. Hingga dalam sakitnya pun ia masih tanya Hari Pers Nasional untuk kita berangkat ke Surabaya. Betapa ia suka sekali silaturrahmi.
Ia senang sekali sibuk menjamu tamu. Kalau melihat orang banyak makan di rumahnya itulah kebahagiaannya. Kalau ada tamu siapa saja dari PWI Pusat, dia menghubungi saya untuk para tamu itu dijamu kudapan yang dimasak Mbah Putri. Selalu seperti itu. ” Maitua sudah masak. Ada Papeda dan ikan bakar segar. Ikannya baru diambil dari nelayan di Hamadi. Bawa tamu-tamu itu semua kesini, ” perintahnya pada kesempatan UKW 2008 di Jayapura beberapa waktu lalu.
Usman Fakaubun. Kepergiannya membuat kehilangan besar insan Pers Papua. Rumah duka padat dengan manusia. Aula Wisma Soccer seharian bergema dengan lantunan bacaan Al Quran. Bukan masyarakat Pers saja yang kehilangan. Juga masyarakat olahraga dan beliau juga tokoh masyarakat Kei.
Selain silaturahmi juga hal kepedulian. Ketika mendengar ada kawan atau handai taulan sedang susah, ia pasti datang. Memberi penguatan. Ia adalah backbone bagi banyak orang. Ratapan kehilangan dari mereka di depan jenazahnya betapa memilukan. Kebaikan-kebaikan yang pernah ada dan tertanam dalam hati masyarakat terungkap dalam kesedihan yang bercampur antara kehilangan dan kenangan jasa baiknya. Rasa itu bergelayut pada air mata para pelayat.
Bagi masyarakat Pers Nasional, khususnya PWI September kemarin Kongres Solo adalah pertemuan terakhir. Beliau mengikuti Kongres dari awal sampai. Perjumpaannya dengan teman-teman lamanya adalah kebahagiaan tersendiri buatnya. Nampak dari kehangatan bicara antar mereka. Demikian pun HPN Padang tahun lalu, ia mengikuti seluruh rangkaian acara. Pergi ke Bukit Tinggi dan rangkaian acara lainnya.
Yang paling memukul batin saya atas kepergiannya adalah diskusi-diskusi terakhir kami soal Pers Nasional. Memang antara kami berdua ada fashion yang berbeda. Saya cenderung ke logis filosofis, beliau berbicara dengan kacamata cinta.
Adik Ketua, katanya, PWI tidak boleh mati walaupun era digital. Pers Nasional harus tetap hidup bagaimanapun caranya. Ini tantangan kalian. Tantangan jaman saya sudah lewat, ujarnya.
Tapi bos, kata saya, bagaimana mau hidup kalau iklannya dalam digital sudah tidak ada. Di media digital, ada ribuan jenis iklan yang bukan melalui Pers Nasional. Kita orang asing di dunia baru itu. Ada pemain-pemain iklan yang lebih hebat dalam jumlah yang banyak, sebanyak jumlah masyarakat. Pers Nasional kehilangan piring makannya.
Adik Ketua tidak boleh menyerah, katanya. Bagi setiap yang menekuni permasalahan selalu ada jalan. Saya didik kalian itu supaya pintar, supaya bisa menjawab persoalan-persoalan berat seperti sekarang. Pasti ada solusi, katanya optimis.
Yang ada sekarang kami jual berita, bos. Itu yang kami bisa makan hari ini. Jadi humas pihak ketiga buat pemerintah atau institusi apa saja. Kalau yang uangnya agak banyak sedikit ya cari kasus untuk Lapan Anam. Atau ikut-ikut framing, berpihak ke salah satu kandidat atau siapa saja yang ingin memimpin opini menggunakan pers. Sehingga makna pers yang standar sesuai kaidah penulisan jurnalistik maupun etika jurnakistik sudah makin sulit dipertahankan karena hilangnya ladang iklan yang selama ini menghidupi kita.
Beliau terdiam. Lama terdiam. Tambah kopinya, ia berteriak ke dapur. Diskusi kami selama tahun 2018 di hotel miliknya selalu tema keprihatinannya sola nasib pers belakangan ini. Bahkan di sisa tenaganya yang sudah tidak kuat jalan, ia minta di antar ke kantor PWI. Selama saya mengetahui organisasi ini, sosok seperti ini hanya bisa disaingi oleh sosok Tarman Azam. Di sisi ini kadang saya iri. Ada orang-orang yang mampu mencintai PWI seperti mereka.
Usman Fakaubun adalah Tarman Azam dari daerah. Tokoh Wartawan dari Papua yang kemarin tekah kami kuburkan dengan perasaan kehilangan yang teramat sangat.
(Abdul Munib, Ketua PWI)
Komentar