Profesor Kambuaya: Ketimpangan Pembangunan di Papua Picu Konflik Sosial

JAYAPURA (PTIMES)- Dosen Ekonomi Universitas Cenderawasih yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A mengatakan, pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur hingga politik dan HAM masih sangat timpang dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, terutama di Jawa dan sekitarnya. Ketimpangan inilah yang membuat masyarakat Papua kadang tidak percaya terhadap pemerintah dan memicu konfik sosial di tengah masyarakat dan disintegrasi.

“Ketimpangan ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah dan memicu disintegrasi bangsa dan konflik sosial. Mengapa? Karena di sana keadilan keadilan sosial belum terwujudkan. Menurunkan disparitas akan menguatkan integrasi,” kata Profesor Kambuaya saat tampil dalam seminar yang digelar Centre for strategic and international Studies (CSIS) bertajuk Mengkaji Fenomena Kebijakan Ketimpangan Pembangunan di Indonesia: Modalitas dan Tantangan di Aston Hotel Jayapura, Kamis (09/05/2019).

Menurut Profesor Kambuaya, dibandingkan 32 provinsi lain di Indonesia, laju derap pembangunan di Papua dan Papua Barat memang selalu berada terbawah, baik di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sekalipun, sejumlah kebijakan sudah dilakukan pemerintah Pusat melalui UU Otonomi Khusus dan pembentukan UP4B, kondisi Papua masih memprihatinkan karena berbagai aspek, di antaranya kondisi geografis Papua yang menantang, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah dan masih lemahnya manajemen kepemimpinan di tingkat daerah.
“Saya sangat senang teman-teman muda Papua yang hadir dalam seminar ini sehingga bisa mengetahui persoalan ketimpangan di Papua. Ini masalah yang kita hadapi dari tahun ke tahun,” katanya.
Profesor Kambuaya mengatakan, para pemimpin di Indonesia tahu bahwa negara ini disatukan dari perbedaan suku, budaya, sumber daya alam, dan memiliki sejarah penjajahan dan politik yang berbeda-beda. Banyak perbedaan itu harus diatasi dengan kebijakan yang tepat untuk mengurasi disparitas itu. Semuanya tergantung dari manajemen tata kelola pemerintahan yang baik.
Dia menjelaskan, sebenarnya modal pembangunan di Papua dan Papua Barat sangat besar. Di antaranya, Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya, UU Otonomi Khusus, meningkatnya otonomi daerah baru atau daerah pemekaran, 80 persen pemimpin di Papua adalah Orang Asli Papua, serta visi misi kepala daerah yang bagus seperti visi Gubernur Lukas Enembe Papua Bangkit Mandiri, Sejahtera dan Berkeadilan. Selain itu, peran Gereja dan adat sangat kuat dalam pembangunan.
“Tantangannya adalah masalah kualitas leadership, manajemen kepemimpinan dan juga SDM, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, resiko daerah (regional risk) terkait keamanan dan investasi, capital outflow tinggi, uang dibawa keluar Papua semua,” katanya.
Hal ini, kata Kambuaya, membuat rendahnya rasa percaya diri dan pengharapan bagi Orang Asli Papua, ketidakadilan dalam berbagai aspek (humman right), eksploitasi SDA yang masif, tingginya tingkat migrasi, tingginya tingkat kemiskinan, orang Papua makin miskin di tanah sendiri, tingginya biaya hidup, ketahanan ekonomi lemah, dan rendahnya SDM Papua.
Menjawab persoalan ini, Profesor Kambuaya menawarkan kepada pemerintah, baik Pusat maupun Provinsi Papua dan Papua Barat untuk memaksimalkan implementasi UU Otsus dengan memperkuat Perdasi dan perdasus, meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, mendorong pertumbuhan ekonomi, fokus pada program pembangunan yang memperkuat kapasitas daya beli masyarakat, dan menyediakan insentif yang mendorong investasi.
“Untuk tingkatkan SDM, saya sepakat kita menerapkan double standar demi keberpihakan pada Orang Asli Papua. Karena jika tidak, banyak yang tidak mampu bersaing dengan yang lain. Sambil, kita terus meningkatkan kapasitas kepemimpinan Orang Asli Papua, perkuat peran gereja dan masyarakat,” katanya.
Wakil Direktur CSIS Medelina K. Hendytio dalam sambutannya membuka seminar mengatakan pihaknya membagikan hasil studi dari beberapa kota tentang disparitas pembangunan di Indonesia, dimana Jayapura menjadi salah satu kota yg dianggap tepat.
“Tapi ini bukan semata studi, tapi pada soal kebijakan yang butuh perbaikan. Semoga di tengah hiruk pikuk politik kita tidak lupa memikirkan persoalkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia,” katanya.
Seminar yang digelar CSIS ini menghadirkan juga pembicar lain yakni drg. Aloysius Giyai, M.Kes mewakili birokrat Papua dan Deny Friawan dari CSIS.

Editor: GUSTI MR