HIV/AIDS di Papua Tembus 38 Ribu Kasus

JAYAPURA- Kasus HIV-AIDS di Provinsi Papua menembus angka 38.874 per 30 September 2018 dimana Papua menempati posisi tertinggi di Indonesia berdasarkan persentasi jumlah penduduk. Sementara secara absolut/riil jumlah kasus, Papua berada di urutan ke-4 dari 34 provinsi setelah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Kepala Dinas Kesehatan Papua drg. Aloysius Giyai, M.Kes mengatakan selain faktor heteroseksual, juga karena faktor perantara misalnya daerah penambangan liar dimana transaksi seks PSK dibayar dengan hasil dulang emas, tidak mesti harus cash atau tunai. Kemudian daerah-daerah dimana kasus HIV-AIDSnya tinggi masih terjadi peredaran miras dan juga banyaknya anak-anak aibon yang berkeliaran. Sejumlah survei LSM melihat fenomena seks bebas anak-anak di bawah 15 tahun di terminal dan barter seks yang sangat tinggi dimana 1 perempuan digilir bersama oleh pasangan seksny. Jika ini tak dihentikan, penyebaran HIV cepat sekali ,” kata Aloysius saat menggelar jumpa pers di Kantor Dinas Kesehatan Papua, Jumat (30/11/2018).
Menurut Aloysius, melihat data kasus dan fakta penyebab HIV-AIDS, semua sektor harus peduli dan bekerja nyata untuk bersama instansi teknis, Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan lembaga swadaya masyarakat bersama sama menekan penyebaran HIV ini.
“Itu artinya, antara lain, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Pendidikan, harus peduli dan terlibat langsung . Dan tentu saja masing-masing pemimpin agama dan orang tua untuk menjaga pergaulan anak-anak. Tahun 2019 harus ada kebijakan bersama lintas sektor untuk tekan kasus HIV-AIDS di Papua,” ujar Aloysius.
Aloysius mengatakan, sejauh ini Dinas Kesehatan Provinsi Papua terus melakukan intervensi, asistensi teknis maupun program, bimtek dan pendampingan kepada kabupaten/kota dalam hal penanggulangan HIV-AIDS.
Guna menolong para penderita Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA), pihaknya juga telah menyediakan obat Antiretroviral (ARV) di setiap klinik, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit yang sudah terdaftar di dalam sistem registrasi layanan ARV. Obat ini dikirim dari Kementerian Kesehatan RI dan diakses/dikonsumsi gratis oleh para ODHA.
“Tapi harus kami akui, masih ada beberapa Dinkes di kabupaten kurang bekerja baik. Ini terbukti, dari 30 ribuan penderita ini, baru sekitar 40 persen yang teratur minum ARV. Sementara secara struktural, dari 29 kabupaten/kota, baru 9 kabupaten yang sudah punya KPA. Jadi bagaimana bisa berkolaborasi dengan Dinkes. Memang ada LSM luar negeri yg bantu tapi hanya bersifat asistensi teknis program,” kata Aloysius.
“Pada Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada 1 Desember, kami mengingatkan khusus kepada kabupaten untuk segera bentuk KPA. Kedua, perhatian terhadap kasus kenakalan remaja, aibon di terminal. Sementara terkait sirkumsisi, kami berharap ada kepedulian semua pihak untuk mendukungnya. Kami rencana tahun depan dibawah kordinasi KPA Provinsi Papua, akan buat Konferensi AIDS besar-besaran. Harus ada MoU, tandatangan bersama lintas sektor untuk perangi HIV-AIDS,” katanya.

Kepala Balai Pencegahan dan Penanggulangan AIDS, TBC dan Malaria Provinsi Papua, dr. Beeri Wopari, M.Kes mengatakan dari data yang ada di tahun 2018 penemuan kasus baru HIV-AIDS mulai berkurang (penurunan kasus) dari setiap tahunnya.
“Tahun ini rata-rata turun 4 persen. Walaupun secara survailens memang makin tinggi karena merupakan penjumalahan komulatif dari tahun-tahun sebelumnya,” kata dr. Beeri.
Penurunan ini, kata dr. Beeri, ditopang oleh akses layanan yang makin luas dengan peningkatan mutu layanan melalui kolaborasi kerja dengan sektor lain.
“Intinya adalah untuk kita perkuat di upaya pencegahan penularan HIV dan tata laksana pasien AIDS harus dipastikan para ODHAmenerima layanan dukungan perawatan ARV,” kata dr. Beeri.
Soal adanya sejumlah dinas kesehatan di kabupaten yang belum menyerahkan data kasus HIV-AIDS seperti Nduga, Intan Jaya dan beberapa kabupaten lainnya, kata dr. Beeri, sudah diingatkan di setiap Rapat Kerja Kesehatan Daerah, dimana setiap tahun data itu dipakai untuk perangkingan rapor kinerja kesehatan.
“Sebab kita di Papua faktor epidemologi sangat memungkinkan pasti ada kasus di sana,” kata dr Beeri.
“Ya ini efek dari sistem kelola pemerintahan di kabupaten/kota yang dikelola dengan UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004. Sedangkan kita di Papua menggunakan UU Otsus No. 21 Tahun 2011. Jadi, kita mau keras dengan pimpinan Dinkes kabupaten tapi semua kewenangan ada di bupati jadi itu kendalanya. Kalau semua kepala dinas kesehatan kita dari Provinsi yang angkat, pasti mudah koordinasi,” timpal Kepala Dinas Kesehatan Papua, drg. Aloysius Giyai, M.Kes.

Editor: LEPIANUS KOGOYA

Komentar